Tersebutlah Sanghyang Wenang yang merupakan seorang dewa senior dalam tradisi pewayangan jawa. Ia
dianggap sebagai leluhur Bathara Guru, pemimpin Kahyangan Suralaya. Ia sendiri
bertempat tinggal di Khayangan Awang-awang Kumitir. Kisah kehidupan Sanghyang
Wenang yang diangkat dalam pentas pewayangan antara lain bersumber dari naskah Serat
Paramayoga yang disusun oleh pujangga Ranggawarsita. Serat
Paramayoga merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang isinya merupakan
perpaduan unsur Islam, Hindu, dan Jawa asli. Tokoh Sanghyang Wenang misalnya,
disebut sebagai leluhur dewa-dewa Mahabharata sekaligus keturunan dari Nabi
Adam. Sanghyang Wenang merupakan putra Sanghyang Nurrasa, putra Sanghyang
Nurcahya, putra Nabi Sis, putra Nabi Adam. Ia memiliki seorang kakak bernama
Sanghyang Darmajaka dan seorang adik bernama Sanghyang Pramanawisesa. Setelah
dewasa, Sanghyang Wenang mewarisi takhta Kahyangan Pulau Dewa dari ayahnya.
Sanghyang Wenang
dipuja bagaikan Tuhan oleh para penduduk Pulau Dewa yang saat itu kebanyakan
dari bangsa roh. Hal ini didengar oleh Nabi Sulaiman pemimpin Bani Israel. Para
pengikut Nabi Sulaiman mendesak supaya Sanghyang Wenang diberi hukuman. Nabi
Sulaiman pun mengirim panglimanya yang bernama Roh Sakar untuk menyerang Pulau
Dewa. Roh Sakar tiba di tujuannya. Namun
justru dirinya yang berhasil dikalahkan oleh Sanghyang Wenang. Roh Sakar
dikirim balik untuk mencuri rahasia kesaktian Nabi Sulaiman, yaitu Cincin
Maklukat gaib mukzizat pemberian Tuhan. Setelah berhasil mencuri cincin
tersebut, Roh Sakar kembali ke Pulau Dewa, namun cincin tercebur jatuh ke dasar
laut. Pulau Dewa tempat Sanghyang Wenang dipasangi tumbal oleh nabi Sulaiman, sehingga
meledak dan hancur menjadi pulau-pulau kecil. Sanghyang Wenang sendiri bahkan
sampai mengungsi ke dasar laut
Beberapa tahun kemudian setelah
Nabi Sulaiman meninggal, Sanghyang Wenang pun muncul kembali dan membangun
kahyangan baru di Gunung Tengguru. Sang Hyang Wenang Menikah dengan Dewi Sahoti (Dewi
Sati), putri Prabu Hari Raja dari negara Keling. Dari Perkawinan tersebut, ia
memperoleh lima putra, yang semuanya berwujud akyan (roh).
Anak mereka tersebut masing-masing bernama Sang Hyang Tunggal, Dewi Suyati,
Batara Nioya, Batara Herumaya, dan Batara Senggana.
Setelah dewasa, Sang
Hyang Tunggal tak berbeda dengan sang ayahnya. Sang Hyang Tunggal pun gemar
berkelana dan melakukan puja semedi, bertapa ditempat-tempat yang keramat pula
angker, dipuncak gunung yang teramat sunyi senyap atau didalam gua-gua yang
yang teramat gelap. Sanghyang Tunggal ingin sekali
memiliki anak yang bisa berbadan jasmani juga rohani, sehingga kelak bisa
menjadi pemimpin Triloka, atau tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah, dan
alam bawah. Dengan demikian, para dewa tidak hanya memimpin bangsa roh saja,
tetapi juga mampu memimpin umat manusia seperti Nabi Suleman, tokoh yang telah
mengalahkan ayahnya. Maka, ia pun memutuskan untuk pergi bertapa demi mencapai
keinginan tersebut. Untuk selanjutnya, takhta Kahyangan Keling diserahkan
kepada Sanghyang Rudra yang kemudian bergelar Sanghyang Darmadewa.
Sanghyang Tunggal kemudian berpamitan kepada sang istri,
yaitu Dewi Darmani untuk pergi bertapa mewujudkan cita-citanya. Dewi Darmani
mengizinkan serta merelakan Sanghyang Tunggal jika harus menikah lagi demi
mendapatkan anak yang berbadan jasmani dan rohani. Sanghyang Tunggal pun
mengajak istrinya untuk berserah diri kepada Tuhan semoga mendapatkan jalan
yang terbaik. Setelah dirasa cukup, Sanghyang Tunggal lalu berangkat
meninggalkan Kahyangan Keling dan bertapa di tepi pantai dengan duduk di atas
batu karang
Tersebutkah raja roh berwujud kepiting dari Kerajaan Teleng samodra,
bernama Prabu Rekatatama. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Dewi Rekatawati
yang telah bermimpi menikah dengan seorang dewa bernama Sanghyang Tunggal. Demi
untuk mewujudkan mimpi putrinya itu, Prabu Rekatatama pun berangkat mencari
keberadaan Sanghyang Tunggal. Prabu Rekatatama berhasil menemukan Sanghyang
Tunggal yang bertapa di tepi pantai. Ia berusaha membangunkan calon menantunya
itu namun tidak berhasil. Bahkan, daya perbawa Sanghyang Tunggal justru membuat
Prabu Rekatatama terlempar dan jatuh pingsan. Setelah sadar dari pingsan, Prabu
Rekatatama kemudian mengheningkan cipta, mengerahkan kesaktiannya untuk membawa
pergi Sanghyang Tunggal dengan cara gaib.
Sanghyang Tunggal terbangun dari tapa dan terkejut karena
tahu-tahu dirinya sudah berada di dalam keraton bawah laut. Di hadapannya sudah
ada seorang raja roh kepiting dan putri cantik, yang tidak lain adalah Prabu
Rekatatama dan Dewi Rekatawati. Prabu Rekatatama menyampaikan maksudnya untuk
melamar Sanghyang Tunggal sebagai suami putrinya. Sanghyang Tunggal mendapat
firasat bahwa dengan cara inilah ia dapat mencapai cita-cita memiliki putra
berbadan jasmani dan rohani. Maka, ia pun menerima lamaran tersebut
Singkat cerita, Dewi Rekatawati telah mengandung anak
Sanghyang Tunggal. Ketika tiba waktunya, ternyata yang ia lahirkan adalah
sebutir telur. Sanghyang Tunggal sangat marah dan membanting telur tersebut.
Namun telur itu melesat terbang ke angkasa meninggalkan Kerajaan Teleng samodra.
Sanghyang Tunggal semakin penasaran dan segera terbang pula untuk mengejarnya.
Telur ajaib itu melesat sampai ke Kahyangan Tengguru. Sanghyang
Wenang terkejut dan berusaha menangkapnya. Namun telur aneh itu begitu gesit,
dan baru bisa ditangkap setelah Sanghyang Wenang mengerahkan kesaktiannya. Sanghyang
Tunggal datang menghadap dan menceritakan bahwa telur tersebut adalah anaknya
yang terlahir dari Dewi Rekatawati. Sanghyang Wenang paham isi hati putranya,
maka ia pun mengheningkan cipta memohon izin Tuhan supaya telur di tangannya
itu bisa berubah menjadi anak. Selesai bersamadi, Sanghyang Wenang lalu
menyiram telur itu dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib,
cangkang telur pun terbuka dan berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi
nama Batara Antaga. Selanjutnya putih telur juga berubah menjadi seorang
laki-laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur
berubah menjadi laki-laki pula dan diberi nama Batara Manikmaya.
Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu
ternyata lahir sesuai harapan, yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga
meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan lahir sepuluh anak, dan dari Batara
Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka keturunan bangsa dewa
akan berkembang biak di muka bumi.
Beberapa tahun kemudian terjadilah perselisihan antara
Batara Antaga dan Batara Ismaya. Mereka berdua sama-sama merasa berhak menjadi
ahli waris Sanghyang Tunggal. Batara Antaga sebagai anak tertua merasa yang
paling berhak naik takhta. Namun hal itu dibantah oleh Batara Ismaya yang
mengetahui sejarah leluhur, bahwa Sanghyang Nurrasa dulu menunjuk Sanghyang Wenang
sebagai ahli waris, padahal Sanghyang Darmajaka lebih tua.
Kedua kakak beradik itu lalu bertarung adu kesaktian. Namun
keduanya sama-sama kuat sehingga sulit menentukan siapa yang menang dan siapa
yang kalah. Akhirnya, mereka pun memanggil Batara Manikmaya untuk menjadi saksi
dan memberikan penilaian yang adil terhadap persaingan tersebut.
Batara Manikmaya lalu mengusulkan supaya Batara Antaga dan
Batara Ismaya menelan gunung ke dalam perut dan mengeluarkannya melalui dubur.
Dengan cara ini dapat diketahui siapa yang lebih sakti dan siapa yang lebih
pintar. Keduanya pun setuju. Batara Antaga yang mula-mula memilih salah satu
gunung di Pegunungan Himalaya, kemudian berusaha menelannya dalam sekali lahap.
Setelah berusaha sekuat tenaga, gunung tersebut pun masuk ke dalam perut Batara
Antaga, namun tidak bisa keluar. Karena tadi ia telah memaksakan diri melahap
gunung, maka mulutnya kini menjadi robek dan lebar, matanya pun melotot besar,
serta tubuhnya menjadi bulat dan gemuk.
Batara Ismaya maju dan memilih sebuah gunung yang lebih
besar. Dengan sabar dan telaten ia memakan gunung itu perlahan-lahan hingga
semua masuk ke dalam perutnya setelah beberapa hari. Namun ia juga tidak mampu
mengeluarkannya melalui dubur. Karena tidak tidur selama berhari-hari, kini wujud
Batara Ismaya menjadi berubah jelek, dengan mata sembab dan hidung ingusan.
Selain itu, karena gunung yang ditelannya lebih besar daripada yang ditelan
Batara Antaga, akibatnya tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan lebih bulat
daripada sang kakak
Sanghyang Padawenang datang dan sangat murka melihat ulah
kedua putranya. Ia pun mengumumkan bahwa Batara Manikmaya adalah yang berhak
mewarisi takhta Kahyangan Tengguru, sedangkan mereka berdua diperintah untuk
pergi bertapa di alam Sunyaruri. Kelak jika saatnya tiba, Sanghyang Padawenang
akan memberikan perintah kepada mereka supaya muncul ke alam nyata dan menjadi
pengasuh keturunan Batara Manikmaya. Batara Antaga hendaknya menjadi pengasuh
golongan raksasa, sedangkan Batara Ismaya menjadi pengasuh golongan manusia.
Batara Antaga dan Batara Ismaya mematuhi keputusan sang
ayah, namun mereka tidak bisa menerima begitu saja kalau Batara Manikmaya
langsung diangkat menjadi ahli waris Kahyangan Tengguru. Mereka meminta Batara
Manikmaya harus bisa membuktikan kalau dirinya juga bisa menelan dan
mengeluarkan gunung sesuai perlombaan yang telah ditetapkan tadi.
Batara Manikmaya setuju. Ia lalu memilih gunung paling indah
di Himalaya, yaitu Gunung Kaelasa untuk dimasukkan ke dalam perut. Berbeda
dengan kedua kakaknya, ia lebih dulu mengheningkan cipta dan mengubah gunung
itu menjadi sangat kecil sehingga dapat dengan mudah ditelan dan dikeluarkan
lagi melalui dubur. Setelah itu, gunung tersebut dikembalikan ke ukuran asli
dan diletakkan ke tempat semula.
Batara Antaga dan Batara Ismaya mengakui kepandaian dan
kesaktian Batara Manikmaya, dan mereka pun merelakan takhta Kahyangan Tengguru
menjadi milik si adik bungsu. Namun Batara Ismaya mengeluhkan wujudnya yang
telah berubah menjadi buruk rupa, sehingga mustahil ada wanita yang sudi
menjadi istrinya. Padahal Sanghyang Padawenang dulu pernah meramalkan bahwa ia
kelak akan memiliki sepuluh anak.
Sanghyang Padawenang menjawab bahwa urusan jodoh itu sudah
diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Jelek atau tampan bukanlah ukuran untuk
mendapatkan jodoh. Usai berkata demikian ia lantas mendatangkan seorang wanita
yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, yaitu Dewi Senggani putri
Sanghyang Hening. Wanita inilah yang ditakdirkan menjadi jodoh Batara Ismaya.
Melihat kedua kakaknya telah berubah menjadi buruk rupa,
tiba-tiba timbul sifat sombong dalam diri Batara Manikmaya yang merasa paling
tampan dibanding mereka berdua. Sanghyang Padawenang prihatin mendengar
kesombongan itu. Ia pun meramalkan bahwa Batara Manikmaya kelak akan menerita
empat jenis cacat, yaitu berkaki pincang, berleher belang, bertaring dua, dan
berlengan empat. Batara Manikmaya menyesali kesombongannya dan memohon ampun.
Namun Sanghyang Padawenang mengatakan bahwa itu semua telah menjadi takdir
Tuhan dan semoga menjadi pengingat agar Batara Manikmaya lebih berhati-hati
dalam perkataan dan perbuatan. Manan atau Batara
Narada dijadikan teman
Manikmaya dan diangkat sebagai penasihatnya.
Singkat cerita, Batara Ismaya telah menikah dengan Dewi
Senggani dan mendapatkan sepuluh anak, yaitu Batara Wungkuam, Batara Kuwera,
Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Surya, Batara Candra, Batara
Yamadipati, Batara Temburu, Batara Kamajaya, dan Batari Darmanastiti. Setelah
itu ia pun mohon pamit dan berangkat bersama Batara Antaga menuju ke alam
Sunyaruri untuk mulai bertapa. Sejak saat itu Batara Antaga memakai nama Togog,
sedangkan Batara Ismaya memakai nama Semar.
Sebelum berangkat ke alam Sunyaruri,
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka (Sanghyang Tunggal), supaya masing-masing
diberi teman, seperti Manikmaya. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan
berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat",
sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang
Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar
dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong. Setelah keberangkatan kedua putranya, Sanghyang Padawenang
lalu menyerahkan takhta Kahyangan Tengguru dan segala pusaka warisan leluhur
kepada Batara Manikmaya. Batara Manikmaya kemudian menjadi raja para dewa
dengan bergelar Batara Tengguru, atau disingkat Batara Guru.
Di lain kisah ada satria tampan bernama Bambang
Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Bambang Sukodadi sangat sakti namun sombong,
sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat
baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang
Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil
perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua
rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka
dan memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu. Karena
kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta
diaku anak oleh Batara Ismaya. Akhirnya Ismaya bersedia menerima mereka, asal
kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur,
dan akhirnya mereka berdua setuju. Karena perubahan wujud tersebut masing-masing
kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan
Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Setelah Manikmaya naik tahta, dan Ismaya maupun Antaga pergi
dari Kahyangan Tengguru, Sanghyang Padawenang hidup menyepi dengan membangun
kahyangan baru bernama Kahyangan Awang-Awang Kumitir. (dirangkum oleh bpurnomo.co.id).