Senin, 14 Agustus 2017

SEDIKIT TENTANG DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN



A. Permasalahan dan Pengertian Perlindungan Tanaman

Kehidupan manusia boleh dikatakan sangat tergantung kepada tumbuhan. Ketergantungan tersebut disebabkan karena banyaknya kebutuhan manusia yang sebagian besar berasal dari tumbuhan dan sering kebutuhan tersebut tidak dapat diganti dari organisme atau benda lain. Golongan cerealia, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan merupakan contoh sebagian besar makanan manusia yang berasal dari tumbuhan. Pakaian yang kita pakai, rumah yang kita huni, perabot rumah tangga yang kita gunakan sehari-hari sebagian besar baik secara langsung maupun tidak langsung juga berasal dari tumbuhan. Manusia memerlukan tanaman untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, tetapi pada tempat dan waktu yang bersamaan berbagai jenis organisme lain juga memerlukan tanaman untuk tujuan yang sama. Selain itu ada faktor-faktor lingkungan yang dibutuhkan tanaman tetapi tidak dapat tersedia secara optimum sehingga kehidupan tanamanpun tidak dapat berjalan secara optimum memenuhi kebutuhan manusia, disamping terjadi konversi kebutuhan manusia itu sendiri. Hal-hal tersebut menyebabkan manusia menjadi merasa dirugikan dan oleh karena itu perlu melakukan berbagai upaya agar tanamannya tidak diganggu oleh organisme pengganggu, menyediakan lingkungan yang dibutuhkan dan mensubstitusi adanya konversi kebutuhan.
Organisme pengganggu yang mengganggu kehidupan tanaman, dan manusia, merupakan bagian dari ekosistem (ecosystem) yang saling berkaitan dengan berbagai jenis organisme lain melalui jejaring makanan (food web). Upaya perlindungan tanaman yang ditujukan terhadap jenis-jenis organisme yang mengganggu kehidupan tanaman pada akhirnya bukan hanya berdampak pada organisme tersebut, tetapi juga organisme lain yang justru bermanfaat, dan bahkan juga terhadap manusia sendiri. Lingkungan tanaman yang dibutuhkan tidak kita sediakan secara optimal juga akan menyebabkan lemahnya kehidupan tanaman yang dapat mengakibatkan tanaman menjadi mudah terganggu oleh organisme lain. Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan tanaman menjadi mudah terganggu oleh organisme lain kita sebut faktor predisposisi.
Kebutuhan manusia akan hasil tanaman akan terus meningkat seiring dengan terus semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia. Menurut PBB, penduduk dunia diperkirakan akan terus meningkat menjadi 8.011.533.000 jiwa pada 2025 dan 9.149.984.000 jiwa pada 2050. Jumlah penduduk yang terus meningkat, disertai dengan perubahan pola konsumsi penduduk negara-negara maju ke arah bahan pangan (manusia) dan kebutuhan bahan pakan (ternak) yang lebih berkualitas, akan menyebabkan kebutuhan bahan pangan terus meningkat beberapa kali dari yang dibutuhkan saat ini. Sekalipun tanpa gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu, terutama kebutuhan akan bahan pangan, sulit dapat dipenuhi karena berbagai faktor lain, di antaranya keterbatasan lahan, konversi lahan pertanian, kesulitan menyediakan air yang optimum dan faktor-faktor predisposisi lainnya. Konversi bahan pangan menjadi bahan bakar hayati (biofuel) sebagaimana yang dilakukan di negara-negara maju, juga menjadi penyebab tak terpenuhinya kebutuhan pangan. Oleh karena itu, upaya untuk mencukupi kebutuhan pangan tersebut akan menjadi semakin sulit mengingat berbagai jenis organisme pengganggu, faktor-faktor predisposisi, konversi lahan pertanian dan konversi hasil pertanian.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk melindungi tanaman dari gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu yang terdiri atas golongan binatang, patogen, dan gulma. Meskipun demikian, produksi yang benar-benar dapat dicapai tetap saja lebih rendah dibanding produksi yang seharusnya. Kehilangan hasil (yield loss), yaitu perbedaan antara produksi yang benar-benar dapat dicapai dengan produksi yang seharusnya, tetap saja besar. Untuk tanaman pangan, kehilangan hasil potensial, yaitu perbedaan produksi antara yang berhasil dicapai dibandingkan dengan produksi yang seharusnya, mencapai 67,4%, sedangkan keberhasilan hasil aktual, yaitu perbedaan produksi antara yang berhasil dicapai dengan berbagai upaya perlindungan tanaman dibandingkan dengan produksi yang seharusnya, masih tetap tinggi, yaitu sebesar 32,1%.  Uraian suram ini terutama pada tanaman pangan, belum kelompok tanaman lain seperti tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan yang diperlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia lainnya di luar kebutuhan pangan.
Kehilangan hasil pada berbagai kelompok tanaman lain tersebut juga tidak jauh berbeda, bahkan mungkin lebih besar. Kehilangan hasil besar yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman dapat terjadi karena berbagai faktor yang berkaitan dengan budidaya tanaman itu sendiri, dengan organisme pengganggu tanaman, maupun dengan upaya perlindungan tanaman yang  dilakukan. Budidaya tanaman sendiri masih dilakukan secara ekstensif dan manual di negara-negara sedang berkembang sampai secara sangat intensif dan mekanis di negara-negara maju. Budidaya tanaman yang padat teknologi di negara-negara maju, bukan hanya dapat lebih bisa membuat kondisi lingkungan menjadi lebih sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tetapi juga lebih bisa mengurangi gangguan yang disebabkan oleh berbagai organisme lain, daripada budidaya padat tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang. Kemampuan negara-negara maju untuk melakukan hal tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah yang memberikan perhatian penuh terhadap permasalahan perlindungan tanaman, baik melalui kebijakan yang dibuat maupun melalui dukungan terhadap penelitian dan pengembangan teknologi perlindungan tanaman.
Faktor yang juga menjadikan permasalahan perlindungan tanaman menjadi kompleks adalah kenyataan bahwa organisme pengganggu tanaman terdiri atas berbagai jenis yang kemampuannya untuk menyebabkan kehilangan hasil sangat beragam. Jenis organisme yang sangat banyak dan beragam tersebut mencakup golongan binatang, jamur, bakteria, virus, tumbuhan parasit dan tumbuhan pesaing tanaman. Jenis-jenis organisme pengganggu tanaman dari golongan binatang (animal) lazim disebut hama (pests), sedangkan yang  dari golongan jamur (fungi), bakteri, virus dan tumbuhan parasit, disebut patogen (pathogens), dan dari golongan tumbuhan pesaing tanaman disebut gulma (weeds). Binatang hama, patogen, dan gulma secara keseluruhan di Indonesia sering juga disebut hama, dalam hal ini hama dalam arti luas (pests sensu lato), sedangkan hama golongan binatang atau binatang hama merupakan hama dalam arti sempit (pests sensu stricto).
Khusus di Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hama dalam arti luas sekarang disebut Organisme Pengganggu Tumbuhan atau lazim disingkat OPT, yang didefinisikan sebagai: semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan. Perhatikan bahwa dalam definisi ini digunakan istilah tumbuhan, bukan hanya tanaman sebagai jenis-jenis tumbuhan yang dibudidayakan, dan istilah pengganggu, yang dimaksudkan untuk mencakup pengertian merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian. Dalam bahasa sehari-hari, sering digunakan istilah menyerang. Istilah menyerang ini bukan hanya digunakan secara luas, tetapi juga secara salah kaprah sehingga penyakit yang bukan merupakan organisme pun juga dikatakan menyerang.
Berbagai jenis binatang, jamur, bakteria, dan virus, maupun tumbuhan memperoleh status sebagai OPT melalui berbagai cara untuk menyebabkan kehilangan hasil:
  1. Memakan bagian-bagian tanaman dengan berbagai cara. Organisme pengganggu tumbuhan dari jenis binatang merusak dan/atau mengganggu kehidupan tanaman atau hasil tanaman dengan cara ini. Bagian-bagian tanaman yang dimakan akan mengalami kerusakan secara mekanik (injuri) sehingga bila terjadi pada bagian yang merupakan hasil maka akan mengurangi berat (kuantitas) atau mutu (kualitas).
  2. Mengganggu proses fisiologis tanaman. Kerusakan dengan cara ini ditimbulkan oleh organisme pengganggu dari golongan binatang, patogen, maupun gulma. Serangga penggerek batang dan patogen yang hidup pada pembuluh angkut akan mengganggu transportasi unsur hara dan fotosintat. Jenis gulma tertentu dapat mengganggu proses fisiologis tanaman dengan cara menghasilkan senyawa kimia tertentu (alelopat).
  3. Menyaingi atau mengganggu dalam memperoleh sumberdaya kebutuhan hidup tanaman. Kerusakan dan gangguan dengan cara ini ditimbulkan terutama oleh gulma dalam hal memperoleh air, unsur hara, sinar matahari, dan ruang hidup. Patogen tertentu juga dapat menimbulkan gangguan ini, misalnya jamur jelaga yang menutupi permukaan daun sehingga menghambat proses fotosintesis.
  4. Menjadi perantara penularan organisme lain yang mungkin lebih merusak. Organisme tertentu merusak atau mengganggu kehidupan tanaman dengan menjadi perantara penularan bagi organisme lain yang lebih merusak. Misalnya, wereng cokelat, menyebabkan kerusakan langsung yang kurang berarti dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh virus penyebab penyakit tungro yang ditularkannya.
  5. Menjadi tempat bertahan dan sumber penularan. Pada saat tanaman tidak tersedia, gulma dapat menjadi tempat bertahan hidup bagi jenis-jenis organisme penggangu tertentu sehingga pada musim tanam berikutnya organisme pengganggu yang bertahan pada gulma tersebut menjadi sumber penular terhadap tanaman yang dibudidayakan.
  6. Membahayakan konsumen karena menghasilkan racun yang dapat mengkontaminasi hasil. Berbagai jenis patogen menghasilkan senyawa kimia beracun sebagai metabolit sekunder dan senyawa beracun tersebut dapat mengkontaminasi hasil tanaman. Organisme penggaggu tumbuhan dari jenis jamur tertentu, misalnya Aspergillus dan Fusarium, menghasilkan racun aflatoxin dan fusarin dalam kategori ini.
  7. Keberadaan organisme pengganggu mencemari hasil tanaman yang bersangkutan. Organisme pengganggu yang memakan bagian tanaman yang berupa hasil akan menjadi pencemar (kontaminan) pada hasil pada saat dikonsumsi atau dijual. Keberaadaan organisme pengganggu sebagai kontaminan pada hasil menyebabkan hasil menjadi kurang layak dikonsumsi atau harganya rendah pada saat dijual. Misalnya, kumbang bubuk Sitophilus, Tribolium  merupakan kontaminan terhadap hasil jagung, beras dan biji-bijian lain.
Meskipun terdapat berbagai cara organisme dapat menyebabkan kehilangan hasil, kemampuan satu jenis organisme untuk merusak, mengganggu tanaman, dan/atau mematikan tanaman sebenarnya berbeda-beda, bergantung terutama pada:
1)       Kemampuan merusak yang dimiliki oleh setiap individu jenis organisme yang bersangkutan, ditentukan terutama oleh sifat-sifat bawaan jenis organisme yang bersangkutan, 
2)       Jumlah individu jenis organisme yang bersangkutan, pertumbuhan dan perkembangan populasinya, yaitu jumlah individu-individu jenis organisme tersebut pada tempat dan waktu tertentu, dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan aktivitas manusia, 
3)       Kepentingan manusia terhadap jenis tanaman yang dirusak oleh jenis organisme yang bersangkutan, kepentingan manusia terhadap setiap jenis tanaman juga tidak sama sehingga kerusakan yang terjadi pada satu jenis tanaman dan pada jenis tanaman lain, meskipun keparahannya sama, tidak akan bernilai sama.
Kombinasi ketiga faktor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan dan berbagai aktivitas yang dilakukan manusia sendiri, yang pada kelanjutannya akan berpengaruh terhadap tanaman, terhadap organisme yang berpotensi merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan kematian tanaman, dan terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu, organisme lain berstatus sebagai hama dalam arti luas atau sebagai OPT bukan karena bawaan, atau karena kelahiran, melainkan karena keadaan. Status sebagai OPT, dengan demikian bukan merupakan status obyektif, melainkan status subyektif. Status subyektif tersebut terjadi karena pengaruh faktor lingkungan, pengaruh manusia terhadap organisme lain dan lingkungan hidupnya, dan kepentingan manusia terhadap hasil tanaman. Status sebagai OPT yang bersifat subyektif ini merupakan satu di antara berbagai faktor yang menyebabkan permasalahan perlindungan tanaman menjadi sangat kompleks. Untuk melindungi tanaman dari gangguan berbagai jenis OPT, petani perlu melakukan perlindungan tanaman.
Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perlindungan tanaman merupakan "segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan". Perlindungan tanaman tersebut, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan,  "... dilaksanakan melalui kegiatan berupa (a) pencegahaan masuknya OPT ... atau tersebarnya ke area lain ... (b) pengendalian OPT, (c) eradikasi OPT". Sebagaimana juga yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, “Pelaksanaan perlindungan tanaman ... menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah.” Karena merupakan kewajiban maka petani perlu melaksanakan perlindungan tanaman. Bagaimana dapat melaksanakan perlindungan tanaman bila tidak menyadari bahwa OPT dapat menimbulkan kehilangan hasil sedemikian besar. Kalaupun menyadari, bagaimana dapat melaksanakan perlindungan tanaman kalau tidak tahu perlindungan tanaman harus diprioritaskan terhadap OPT yang mana. Banyak faktor lingkungan yang menjadi predisposisi, sehingga petani juga tidak tahu kapan OPT menyerang tanaman dengan kemampuan maksimal. Meskipun mengetahui perlindungan tanaman harus dilakukan OPT yang mana, petani sering tidak melaksanakannya karena mengalami kesulitan biaya. Pemerintah memang membantu melaksanakan perlindungan tanaman, tetapi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, hal itu baru bisa dilakukan “apabila terjadi eksplosi.” Yang artinya sudah terjadi kerugian petani yang sangat besar.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kerumitan permasalahan perlindungan tanaman terjadi bukan semata-mata karena banyaknya jenis organisme yang berpotensi menjadi OPT pada kondisi lingkungan tertentu saja, tetapi juga karena banyaknya kepentingan manusia yang diharapkan dapat dipenuhi dari tanaman. Dalam melindungi tanaman guna mewujudkan kepentingan yang diharapkannya, manusia justru melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan permasalahan baru. Intensifikasi pertanian sebagai bagian dari Revolusi Hijau pada awalnya memang seakan-akan dapat mengatasi permasalahan, tetapi pada akhirnya justru menimbulkan masalah baru. Pembudidayaan satu jenis tanaman dalam areal yang luas secara monokultur dan terus menerus, yang disertai dengan pemupukan dalam dosis tinggi dan penggunaan pestisida yang pada mulanya dipandang sebagai ‘penyelamat’ untuk melindungi tanaman, ternyata kemudian justru menimbulkan eksplosi OPT
.Eksplosi (explosion), yang juga lazim disebut ledakan (outbreak, epidemi), tersebut terjadi karena budidaya monokultur secara terus menerus dengan pemupukan dosis tinggi ternyata menguntungkan pertumbuhan populasi OPT, sedangkan penggunaan pestisida secara sembarangan dapat menyebabkan OPT menjadi resisten, yaitu menjadi tahan terhadap pestisida dengan bahan aktif tertentu. Penggunaan pestisida, yang sesungguhnya penggunaan racun, selain membunuh OPT sasaran, juga dapat membunuh berbagai organisme bermanfaat, termasuk organisme yang menjadi musuh alami (natural enemies) bagi OPT sasaran. Sebagaimana dengan manusia yang menghadapi OPT sebagai musuh, dalam ekosistem alami OPT menghadapi berbagai organisme lain sebagai musuh. Hal ini terjadi karena dalam ekosistem, berbagai jenis organisme berinteraksi dalam proses makan memakan yang disebut jejaring makanan  (food web). OPT merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tanaman, sementara berbagai organisme lain juga melakukan hal yang sama terhadap OPT. Namun dalam ekosistem pertanian, yang juga lazim disebut agroekosistem, penggunaan pestisida menyebabkan sebagian besar musuh alami mati sehingga OPT dapat berkembang biak dengan cepat karena tidak ada yang memusuhinya sebagaimana yang terjadi pada ekosistem alami.
Kerumitan permasalahan perlindungan tanaman sebenarnya belum selesai sampai di sini. Berbagai permasalahan lain akan diuraikan lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya. Namun sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu dipahami bahwa kerusakan, gangguan kehidupan, atau kematian yang disebabkan oleh OPT terhadap tanaman dapat terjadi setiap saat, mulai sejak benih ditanam sampai dengan ketika hasil panen telah disimpan terus diterima konsumen. Gangguan tanaman yang terjadi menjelang panen, atau lebih-lebih lagi ketika hasil sudah disimpan, akan menyebabkan semua biaya produksi, pengangkutan, dan penyimpanan menjadi sia-sia. Hal ini berbeda dengan produksi rendah yang terjadi karena petani lalai mengolah tanah, mengairi, atau memupuk, yang karena tidak dilakukan maka petani tidak perlu mengeluarkan biaya. Dalam hal terjadi eksplosi OPT, bukan hanya produksi menjadi rendah atau bahkan benar-benar gagal, tetapi semua biaya produksi yang telah dikeluarkan untuk mengolah tanah, membeli benih, melakukan pengairan, memupuk, dan sebagainya, akan hilang sia-sia. Bila petani memperoleh biaya tersebut dari meminjam, dari orang lain atau dari bank, maka pinjaman tetap harus dilunasi, tetapi dalam hal petani tidak mengolah tanah dengan baik, tidak mengairi, atau tidak memupuk, petani tidak perlu mengembalikan apa-apa kepada siapapun. Perlindungan tanaman menjadi penting karena kerusakan tanaman terjadi setelah petani mengeluarkan biaya untuk mengolah tanah, memupuk dan mengairi (ilmu tanah) serta memilih benih jenis tanaman tertentu, menanam dengan jarak tanam dan pola pertanaman tertentu pada musim tanaman tertentu, dan memanen hasilnya (agronomi), untuk kemudian mengolah hasilnya (ilmu pangan). Biaya yang dikeluarkan untuk membeli benih, membeli pupuk, mengolah tanah dan mengairi, dan menanam semuanya akan menjadi sia-sia bila tanaman kemudian dirusak oleh organisme pengganggu tumbuhan. Apa yang dapat dipanen dan diolah, apalagi dijual.


B. Apa itu  Pengganggu Tumbuhan ?
Istilah organisme pengganggu tumbuhan, yang sekarang lazim disingkat OPT, mulai diperkenalkan sejak ditetapkannya UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Pada Pasal 1 UU tersebut, organisme pengganggu tumbuhan didefinisikan sebagai semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan". Tumbuhan (plant) berbeda dengan tanaman (crop) hanya dalam keterlibatan manusia yang membudidayakan, pengertian tumbuhan mencakup yang tumbuh liar maupun yang dibudidayakan, sedangkan tanaman mencakup hanya yang dibudidayakan.
Bila definisi organisme pengganggu tumbuhan tidak disikapi dengan hati-hati maka justeru akan membingungkan. Gulma termasuk tumbuhan dan oleh karena itu, musuh alaminya, menurut definisi di atas, merupakan organisme pengganggu tumbuhan. Padahal sebenarnya, musuh alami gulma adalah sarana pengendalian dalam perlindungan tanaman melalui tindakan pengendalian.. Perlindungan tanaman didefinisikan sebagai “segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman” maka perlindungan tanaman tidak mencakup perlindungan terhadap tumbuhan liar, sekalipun terhadap gangguan yang disebabkan oleh OPT yang mengancam kepunahan tumbuhan liar tersebut.
Konvensi internasional yang dikenal dengan nama CITES (Convention on International Trade of Endangered Species), semua negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut wajib melindungi tumbuhan di negaranya dari kepunahan, baik yang disebabkan oleh OPT maupun perdagangan liar. Di Indonesia, karena perlindungan tanaman didefinisikan sebagai “segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman” maka perlindungan tanaman tidak mencakup perlindungan terhadap tumbuhan liar, sekalipun terhadap gangguan yang disebabkan oleh OPT yang mengancam kepunahan tumbuhan liar tersebut. Bagaimana dengan kerusakan, gangguan terhadap kehidupan, atau kematian tanaman yang disebabkan oleh pencuri ? Pencuri (manusia), jelas menimbulkan kehilangan hasil. Beberapa definisi mengenai perlindungan tanaman, di antaranya definisi menurut Wikipedia, memasukkan pencuri sebagai OPT. Karena pencuri saja dapat digolongkan sebagai OPT, apalagi ternak yang dibiarkan berkeliaraan oleh pemiliknya sehingga dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau bahkan menyebabkan kematian tanaman, dengan sendirinya dapat digolongkan sebagai OPT. Hal yang sama juga berlaku bagi satwa liar yang dilindungi seperti gajah, bila masuk ke permukiman penduduk dan merusak, mengganggu kehidupan, atau mematikan tanaman maka dapat berstatus sebagai OPT. Hanya saja, karena manusia, ternak, dan satwa liar tidak dapat disamakan dari segi nilainya dengan jenis OPT lainnya maka upaya perlindungan tanaman terhadap pencurian dan gangguan yang disebabkan oleh ternak dan satwa liar tidak dapat sama dengan yang dilakukan oleh hama atau patogen, yaitu dengan membunuhnya (apalagi dengan pestisida). Untuk OPT khusus ini perlindungan tanaman dilakukan secara khusus, misalnya pencuri dilakukan dengan memberikan sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlakuan yang berbeda juga berlaku bagi OPT berbahaya di negara asing tetapi belum terdapat di Indonesia, yang karena potensi bahaya yang ditimbulkannya ditetapkan sebagai OPT melalui peraturan perundang-undangan, perlindungan tanaman terhadap OPT kategori ini dilakukan melalui tindakan pencegahan masuk, menyebar, atau keluar oleh instansi karantina melalui Undang-undang Karantina.
Definisi organisme pengganggu tumbuhan sebagaimana yang telah diuraikan merupakan definisi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga meskipun agak rancu dan membingungkan, tetap harus diterima karena bersifat mengikat. Meskipun demikian, pertanyaan yang timbul adalah bagaimana kaitan istilah organisme pengganggu tumbuhan dengan istilah hama, penyakit, dan gulma yang telah digunakan sebelum UU No. 12 ditetapkan? Hama dan gulma adalah organisme sehingga dengan sendirinya merupakan kategori dari organisme pengganggu tumbuhan, sedangkan penyakit bukan organisme, melainkan proses yang terjadi pada tanaman ketika tanaman dirusak atau diganggu kehidupannya oleh organisme parasit. Oleh karena itu, penyakit bukan merupakan organisme pengganggu tumbuhan. Yang justeru merupakan organisme pengganggu tumbuhan dalam hal ini adalah organisme tertentu yang menyebabkan tanaman mengalami kerusakan dan gangguan. Organisme semacam ini adalah organisme yang menjadi penyebab terjadinya penyakit atau lazim disebut patogen. Dengan demikian, organisme pengganggu tumbuhan terdiri atas hama, patogen, dan gulma (bukan terdiri atas hama, penyakit, dan gulma).
Lalu bagaimana dengan istilah hama pada konsep pengendalian hama terpadu, apakah tidak mencakup patogen dan gulma? Adanya istilah terpadu dalam konsep ini mengindikasikan bahwa istilah hama dalam hal ini bermakna sama dengan organisme pengganggu tumbuhan, yang memadukan hama, patogen, dan gulma. Dalam makna luas (sensu lato), istilah hama berarti hama, patogen, dan gulma yang "dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan". Penjelasan dalam UU No. 12 Tahun 1992 maupun dalam PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang diberikan adalah mengenai pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup.
Perlindungan tanaman (proteksi tanaman) didefinisikan sebagai "segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan", sedangkan organisme pengganggu tumbuhan didefinsikan sebagai "semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan". Dari kedua definisi dari UU No. 12 Tahun 1992 maupun dalam PP No. 6 Tahun 1995 dapat diapahami bahwa perlindungan tanaman tidak mencakup gangguan yang bukan disebabkan oleh organisme. Namun demikian, perlindungan tanaman mestinya mencakup gangguan yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan unsur hara (nutrients) maupun gangguan karena faktor lingkungan yang kurang mendukung (unfavourable environment) yang menjadi faktor predisposisi timbulnya gangguan OPT, sebagaimana yang dimaksud dalam buku-buku teks mengenai perlindungan tanaman, yang memasukkan gangguan ‘non-pathogenic atau abiotic agent, menjadi bagian dari perlindungan tanaman.
Biologi dan ekologi memang merupakan ilmu dasar yang sangat diperlukan untuk dapat memahami OPT dan kerusakan, gangguan kehidupan, atau kematian yang disebabkannya terhadap tanaman. Namun untuk dapat melindungi tanaman terhadap OPT, selain diperlukan pengetahuan mengenai biologi dan ekologi OPT sasaran, juga diperlukan:
a.       pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam bidang perlindungan masyarakat, 
b.       keperdulian masyarakat terhadap permasalahan perlindungan tanaman, 
c.        kesanggupan petani untuk melaksanakan perlindungan tanaman sebagai tanggung jawab sebagaimana diamatkan oleh peraturan perundang-undangan, dan berbagai faktor lainnya. 
Pada dasarnya, karena perlindungan tanaman merupakan upaya maka akan membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya sehingga pada akhirnya, apakah petani akan melakukan atau tidak, akan bergantung pada perhitungan untung rugi. Oleh karena itu, sejauh mana kemudian perlindungan tanaman menjadi penting, akan bergantung pada bagaimana seseorang dapat memahami permasalahan perlindungan tanaman secara mendalam, utuh, dan menyeluruh. Mereka yang mengatakan perlindungan tanaman penting hanya atas dasar pertimbangan biologi dan ekologi akan sulit dapat diterima oleh mereka yang, karena keterbatasan pendidikannya atau kekurangpeduliannya, tidak menyadari bahwa OPT menyebabkan kehilangan hasil yang sedemikian besar. Kalaupun menyadari bahwa OPT dapat menyebabkan kehilangan hasil yang merugikan, mereka tidak dapat melakukan upaya perlindungan yang diperlukan karena kesulitan biaya atau karena enggan melanggar kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Penjelasan di atas mungkini bukannya memperjelas tetapi justeru menimbulkan dua permasalahan baru. Pertama, pengendalian organisme pengganggu tumbuhan didefinisikan semata-mata berdasarkan atas dasar populasi atau tingkat serangan, tanpa mencakup nilai dari tumbuhan yang dirusak, diganggu, atau dimatikan. Kedua, definisi ini menyiratkan seakan-akan pengendalian hama hanya mencakup tindakan pengendalian, padahal sebagai sistem perlindungan tanaman pengendalian hama seharusnya juga mencakup pencegahan masuk/keluarnya pengganggu, pengendalian, dan eradikasinya.