Konon
(jarene) dulu kitab karangan Syekh Siti Jenar “Olah Hening” digunakan sebagai pokok pengajaran, karena yang
menjadi perhatian hanya lelaku shalat daim saja, sehingga orang jawa yang memeluk
Islam dan yang belum, lebih mudah, jelas, dan nyata menerima ajaran. ALKISAH .
. . .
Syekh Siti Jenar mengajarkan pengetahuan Olah Hening (pasamaden), sebagai teman
diskusi dan bertukar pikiran adalah Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi
muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki
Ageng Pengging. Pengetahuan pasamaden oleh Syekh Siti Jenar juga diajarkan
kepada Raden Watiswara, atau Pangeran Panggung, yang juga berpangkat wali.
Kemudian juga diajarkan kepada Sunan Geseng, atau Ki Cakrajaya, yang semula
bekerja menderas kelapa, (menjadi murid Sunan Kalijaga, termasuk anggota
walisanga yang ikut menyaksikan dihukum matinya Syekh Siti Jenar, lalu berguru
kepada Sunan Panggung). Asalnya dari Bagelen (Purworejo). Kemudian ajaran
tersebut menyebar diamalkan oleh orang banyak. Demikian juga sahabat-sahabat
Syekh Siti Jenar yang sudah terbuka rasanya oleh Syekh Siti Jenar kemudian
mendirikan perguruan-perguruan pengetahuan pasamaden. Semakin lama semakin
berkembang pesat, sehingga menyuramkan pengaruh dan penguasaan agama para wali
yang sedang giat-giatnya menyerbarkan Islam syara’. Seandainya gerakan itu
dibiarkan oleh para wali, terdapat kekhawatiran masjid akan kosong.
Agar tidak terjadi hal yang demikian, maka Ki Ageng
Pengging, Syekh Siti Jenar serta murid dan sahabatnya dijatuhi hukuman mati
dengan dipenggal lehernya, dengan perintah Sultan Demak. Demikian juga Pangeran
Panggung tidak ketinggalan, dipidana dimasukan kedalam bara api hidup-hidup di
alun-alun Demak, sebagai peringatan agar msyarakat merasa takut, dan kalau sudah
takut mereka mau membuang ajaran Syekh Siti Jenar. Diceritakan Pangeran
Panggung tidak mempan oleh amuk api, dan kemudian melompat keluar dari dalam
api, meninggalkan Demak. Sultan Bintara dan segenap para wali
terbengong-bengong dan terkagum-kagum serta terpengaruh kewibawaan serta
kesaktian Sunan Panggung, hanya kami tenggengen ( terdiam) seperti tugu. Setelah
Pangeran Panggung jauh, Sultan dan para wali baru ingat jika Sunan Panggung
sudah pergi dari tempat pidana, serta merasa kalah. Disertai dengan banyak
prajurit Sunan Geseng atau Ki Cakrajaya pergi menyusul sunan Panggung. Sultan
Demak tidak mampu menahan marah, dan melampiaskan kemarahannya, sahabat serta
murid-murid Syekh Siti Jenar yang bisa ditangkap dibantai. Dilakukan pengejaran
besar-besaran terhadap semua orang yang dicurigai pernah mengenyam ajaran Syekh
Siti Jenar. Sebagian pengikut yang tidak tertangkap pergi meninggalkan Demak
mencari perlindungan. Para sahabat dan
murid yang masih hidup, masih tetap melestarikan ajaran dan perguruan Syekh
siti Jenar tentang pengetahuan pasamaden, tetapi kemudian dibalut dengan
pengajaran syariat Islam, agar tidak diganggu gugat oleh para wali yang menjadi
alat Negara.
Pengajaran pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut
shalat daim, dirangkapkan dengan pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun
Islam yang lain-lainnya. Pengajaran shalat daim itu disebagian kalangan disebut
wiridan (tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut
tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima
pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid membaca
ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden kemudian terbagi menjadi
dua, yaitu :
1. Pengajaran pasamaden atau wewiridan dari para sabahat
Syekh Siti Jenar, yang disertai dengan pengajaran syara’ rukun agama Islam.
Pengajaran tadi sampai sekarang ini sudah meleset dari ajaran pokok semula,
karena itu para guru sekarang, yang mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang
diberi nama (tarekat) naksabandiyah atau Syatariyah.
2. Pengajaran pasamaden menurut Jawa, buah dari Ki Ageng
Pengging, yang tadinya dipancarkan dari pengetahuan Syekh Siti Jenar (yang
kemudian diberikan paraban/sebutan klenik), yaitu yang semula menjadi pembuka
pengajaran, terletak pada pengelolaan perwatakan lima hal, yaitu:
a. Setya Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen (
bersungguh-sungguh) dan jujur.
b. Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggung jawab
dan tidak berkhianat.
c. Benar dalam segala perilaku dan perbuatan, sabar dan
berbelas kasih kepada sesama, tidak menonjolkan atau membangga-banggakan diri,
jauh dari watak aniaya.
d. Pandai dalam segala pengetahuan, lebih-lebih pandai dalam
membuat enak perasaan sesama, ataupun juga pandai menahan dan mengendalikan
rasa amarah dan jengkelnya perasaan pribadi, tidak memiliki prinsip melik
nggendhong lali (kalau sudah punya dan sudah enak berpotensi lupa diri akan
asalnya), hanya karena pengaruh harta benda yang gemerlapan.
e. Susila anorraga, selalu memelihara tata karma,
mengendalikan akibat penglihatan dan pengaruh pendengaran kepada pihak yang terkena.
Lelaku lima hal tadi harus dilaksanakan beserta iringan
puja-brata dengan melaksanakan laku semedi, yaitu amesu cipta mengheningkan
teropong penglihatan (mubasyirah). Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa,
bab mengenai pengetahuan pasamaden serta lelaku lima perkara diatas harus
diajarkan kepada semua orang, tua muda tanpa memilih rendah tingginya derajat
orang. Karena itu dengan sebab mustikanya pengetahuan atau luhur-luhurnya
kemanusiaan, ini apalagi tetap semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang
sudah disebutkan diatas. Oleh karena kita tinggal di suasana ketentraman,
sedangkan keadaan tentram menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita
bersama. Kalau tidak demikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap
menanggung derita, papa dan terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia,
karena kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.
Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila
ada anggapan bahwa semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa (
hidupnya ) keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya
berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika
angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai
persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya).
Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut. Istilah semedi sama
dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa (berbaur berjalannya rasa),
rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau
pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun
pengalaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian.
Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan,
pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek,
kemudian memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi
kebiasaan (pakulinan/adat). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata
cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk, ya betul-betul buruk,
dan kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena
semua itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (penganggep), belum
pasti, tetap hanya menempati kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan
kesejatian dan bukan kenyataan (real).
Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali
hanya untuk mengetahui kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada
lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa,
yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat beradanya
rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukan (weruh tanpa
tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya (hawa nafsu
dan amarah), disertai dengan membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan
anggota badan). Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur
terlentang, disertai dengan sidhakep (tangan dilipat di dada seperti takbiratul
ihram, atau seperti orang meninggal) atau tangan lurus kebawah, telapak tangan
kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan
menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemduian disebut dengan sidhakep
suku (saluku) tunggal, ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu
yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan
gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta mengikuti arus aliran
rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang
pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun
penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.
Selanjutnya, menata keluar masuknya napas, seperti berikut,
Napas ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga
sampai di suhunan (ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses
penggiringan atau pengaliran napas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun,
adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa
yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi. Kalau sudah terasa berat
penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku
seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan,
cetha adalah mantapnya suara dipita suara (cethak), yaitu cethak (diujung dalam
dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses
penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi cethak hingga
sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, jadi kalau hanya
menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai di ubun-ubun, sebab
kalau sudah sampai tenggorokan langsung turun lagi. Apalagi yang disebut daiwan
(dawan), yang memiliki maksud : mengendalikan keluar masuknya napas yang
panjang lagipula disertai dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta
mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai
dengan masuknya napas, yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai ubun-ubun.
Kemudian “Ya” disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari
ubun-ubun sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan cethak
(pita suara). Adapun hal itu disebut sastra – cetha. Karena ketika mengucapkan
dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya dibatin saja, juga kelihatan
dari kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan bunyi mantra atau dua
penyebutan ; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan;
“hu-Allah”, penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan
Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; [ la illaha illa Allah], tetapi tanpa
pengendalian perjalanan nafas.). Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut
diatas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian,
karena nafas kita sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat
rasanya (menggeh-menggeh/ngos-ngosan ). Adapun kalau sudah sareh
(sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian seterusnya sampai merambah
semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik. Adapun setiap
satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri = tiga, pandu =
Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas kita dapat
menghampiri jagat besar Yang Maha Suci bertempat didalam suhunan (yang dimintai).
Yaitulah yang dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti, maksudnya kalau nafas
kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi
kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun
maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya (
kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu, pokoknya kita harus menerapkan
secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan
naik-turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab
pengliahatan itu terjadi dari rahsa. (Diambil
dari tulisan alang-alang-kumitir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar