Penulis mengkompilasi tulisan-tulisan sanak internet yang menyatakan bahwa bulan suro adalah bulan pertama dalam kalender jawa, asal kata 'asyuro (10 Muharam), sehingga lidah jawa terbiasa dengan menyebutnya "Suro". Bulan muharam adalah salah satu bulan yang disucikan. Sebagaimana firman allah: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[*]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri[**] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (at-taubah ; 36)
Ketika kita sebutkan bulan muharam, yang dalam benak anda pasti tahun baru. Yang lebih mengenaskan lagi ada sebutan filosofi jawa “sasi suro” yang mana bulan ini justru menurut mereka adalah bulan yang keramat. Misal saja sebuah tradisi yang menyesatkan yaitu kirab kebo kyai Salmet yang ada di keraton Solo. Kirab ini dilakukan tiap malam satu suro yang menurut mareka hal ini dapat mengundang berkah. Mereka berebutan kotoran kebo tersebut dan bahkan ketika kebo itu memakan dagangan milik mereka ini adalah suatu keberkahan yang akan menjadikan dagangannya laris. Di Bengkulu ada tabot yang disakralkan untuk memperingati terbunuhnya Sayyidina Husein bin Ali di Irak yang diadopsi terjadi di Bengkulu. Mengundang berkah keselamatan dengan mencuci jari-jari Husien yang berubah menjadi tembaga atau kuningan (?).
Nah inilah kebodohan orang orang yang tidak mau belajar tentang islam. Inilah sedikit deskripsi kebodohan umat islam di negeri kita yang masih membudayakan dan mensakralkan kejahiliyahan nenek moyang mereka entah mbah-mbahnya, sampai gantung siwur alis bebuyut mereka. Kalau kita Tanya mereka ya….tentu mereka akan menjawab agama kami Islam. Mereka hanya sekedar meniru mbah-mbah mereka. Sebagaimana firman allah; dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (Al-Baqoroh ; 170)
Di bulan Muharram, salah satu bulan dari empat bulan yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau: “Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun itu 12 bulan dan di antaranya ada 4 bulan haram (yang memiliki kehormatan), 3 bulan (di antaranya) berturut-turut: Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan bulan Rajabnya Mudhor yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Peristiwa yang terjadi pada 10 Muharam (Asyuro = jw Suro)
1. Nabi adam a.s di ciptakan , dan dimasukkan ke dalam jannah
2. Taubat Nabi Adam as. diterima oleh Allah swt.
3. Nabi Idris as. diangkat ke langit
4. Kapal Nabi Nuh as. mendarat di atas gunung Judi
5. Nabi Ibrahim as. selamat dari api raja Namrudz
6. Nabi Yunus as. keluar dari perut ikan
7. Nabi Ayyub as. sembuh total dari penyakitnya
8. Nabi Yusuf as. keluar dari sumur pembuangan
9. Nabi Musa as. menyeberangi laut Merah beserta kaumnya
10. Kisah hijrah Nabi saw
11. Terbunuhnya Sayyidina Husein bin Ali
Dalam masyarakat kita, sebagian memiliki keyakinan bahwa Bulan Suro (Muharam) merupakan bulan kesialan. Padahal tidak ada masa/ waktu yang sial. Bahkan dalam akidah islam, sangat dilarang mencaci maki masa/ waktu (termasuk meyakini adanya masa/ waktu sial). Banyak sunnah-sunnah yang masyru' dilaksanakan untuk mengisi bulan Muharam:
Salah satu puasa yang dianjurkan pada bulan diantara bulan- bulan yang dimuliakan yaitu bulan Muharram tepatnya puasa pada tanggal 10. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda ,” Sebaik-baik ibadah puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram”.
“Dari Abu Qotadah Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Asyura’, Beliau menjawab,” Dapat menghapuskan dosa 1 tahun sebelumnya.” ( HR. Muslim no 1162).
Sewaktu Nabi tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang2 Yahudi berpuasa pd hari asyura. Beliau bertanya:'Apa ini?' Mereka menjawab:'Sebuah hari yg baik, ini adlh hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dr musuh mereka, mk Musa berpuasa pd hari itu sbg wujud syukur. Maka beliau rasulullah menjawab:'Aku lebih berhak thd Musa drpd kalian(Yahudi), mk kami akan berpuasa pd hari itu sbg bentuk pengagungan kami thd hari itu.' (HSR Bukhari 4/244, 6/429)
Ketika Rasulullah berpuasa pd hari asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat
berkata:'Ya Rasulallah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi. Beliau
bersabda:'Di thn depan insyaAllah kita akan berpuasa pd tgl 9'., tetapi sebelum
datang tahun depan Rasulullah telah wafat. (HSR Muslim 2/798)
berkata:'Ya Rasulallah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi. Beliau
bersabda:'Di thn depan insyaAllah kita akan berpuasa pd tgl 9'., tetapi sebelum
datang tahun depan Rasulullah telah wafat. (HSR Muslim 2/798)
Di dalam riwayat lain:'Jika aku masih hidup pd thn depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pd hari kesembilan.'(HSR Muslim 2/798; Ibnu Majah, Ahmad, Tabrani dll).
Karena tanggal ke 9 ( tasu'a) nabi belum pernah mengerjakan, maka ada khilaf antara ulama hukum sunnah dan tidaknya.
Karena tanggal ke 9 ( tasu'a) nabi belum pernah mengerjakan, maka ada khilaf antara ulama hukum sunnah dan tidaknya.
Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata, “Dulu pada hari Asyuro, orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa jahiliyah dan adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dulu juga berpuasa padanya. Tatkala beliau berhijrah ke Madinah, beliau berpuasa padanya dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa padanya. Dan tatkala (puasa) ramadhan diwajibkan beliau pun meninggalkan (puasa) hari Asyuro. Maka (semenjak itu) siapa saja yang ingin (berpuasa padanya) maka dia berpuasa dan siapa saja yang ingin (untuk tidak berpuasa) maka dia meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata,“Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro`, maka beliau bertanya: “Apa ini?” Mereka (orang-orang Yahudi) menjawab: “Ini adalah hari baik, ini adalah hari Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka maka Musa berpuasa padanya.” Beliau bersabda : “Kalau begitu saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian,” maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata,“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, memotivasi dan mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau, tatkala telah diwajibkan (puasa) Ramadhan, beliau tidak memerintahkan kami, tidak pula melarang kami dan tidak mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau.” (HR. Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa puasa asyura awal kali disyariatkan ketika beliau tiba pertama kali di kota Madinah. Adapun sebab asal pensyari’atannya yaitu karena pada hari itu Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari musuhnya sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas, jadi bukan karena mengikuti agamanya orang-orang Yahudi. Lihat Nailul Author (4/288)
Nampak jelas dari hadits-hadits di atas dan juga dari hadits-hadits yang lain yang semakna dengannya bahwa dulunya hukum puasa hari ‘Asyuro` adalah wajib karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas. Akan tetapi setelah turunnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka hukum wajib ini dimansukh (terhapus) menjadi sunnah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (8/6), “Para ulama telah bersepakat bahwa puasa pada hari ‘Asyuro` hukumnya sekarang (yaitu ketika telah diwajibkannya puasa Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib.” Dan ijma’ akan hal ini juga telah dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah sebagaimana dalam Fathul Bary (2/246).
Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan berpuasa pada hari ‘Asyuro`, berikut di antaranya :
a. Hadits Abu Qotadah Al-Harits bin Rib’iy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu dan (setahun) yang akan datang,” dan beliau ditanya tentang puasa hari ‘Asyuro` maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
b. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata,“Saya tidak pernah melihat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh berpuasa pada suatu hari yang dia lebih utamakan daripada selainnya kecuali pada hari ini hari ‘Asyuro` dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan.“ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah Muharram dan sholat yang paling afdhol setelah sholat wajib adalah sholat lail.” (HR. Muslim)
Masalah hukumnya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (8/19), “Bab : Barangsiapa yang sudah makan pada hari ‘Asyuro` maka hendaknya dia menahan (berpuasa) pada sisa harinya.” Ada dua dalil yang menunjukkan akan hal ini :
a. Hadits Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu ‘anhu dia berkata,“Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang lelaki dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang sudah makan maka hendaknya dia berpuasa pada sisa harinya dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya dia berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyuro`.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha dia berkata,“Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus (utusan) kepada desa-desa Anshor pada subuh hari ‘Asyuro` (untuk menyerukan) : “Barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berbuka (telah makan) maka hendaknya dia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kapankah Hari ‘Asyuro` Itu? Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuannya, dan pendapat yang paling kuat adalah bahwa hari asyura itu jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah pendapat Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ini merupakan pendapat jamahir (mayoritas) ulama terdahulu dan belakangan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata, “Tatkala Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyuro` dan beliau memerintahkan (manusia) untuk berpuasa, mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani,” maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda : “Jika tahun depan (saya masih hidup) insya Allah, maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan.” (Ibnu ‘Abbas) berkata : Maka tahun depan belum datang sampai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, “Jika saya masih hidup sampai tahun depan maka (demi Allah) sungguh betul-betul saya akan berpuasa pada hari kesembilan.” Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah dalam Syarh Muslim (8/18), “Maka ini jelas menunjukkan bahwa dulu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 (Muharram) bukan tanggal 9.” Dan ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah. Hal ini lebih dipertegas oleh perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, hari kesepuluh.” (HR. At-Tirmizi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmizi, 1/399 no. 755)
Alhasil, ternyata bulan muharam adalah bulan yang mulia dan penuh dengan amalan. Mari kita amalan ilmunya dan mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk melaksanakan sunah-sunah tersebut. (Sekali lagi tulisan ini adalah wacana, mohon pembaca arif menanggapinya. bpurnomo.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar