Minggu, 27 November 2011

SASI SURO atau BULAN MUHARAM

Penulis mengkompilasi tulisan-tulisan sanak internet yang menyatakan bahwa bulan suro adalah bulan pertama dalam kalender jawa, asal kata 'asyuro (10 Muharam), sehingga lidah jawa terbiasa dengan menyebutnya "Suro". Bulan muharam adalah salah satu bulan yang disucikan. Sebagaimana firman allah: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[*]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri[**] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (at-taubah ; 36)
Ketika kita sebutkan bulan muharam, yang dalam benak anda pasti tahun baru. Yang lebih mengenaskan lagi ada sebutan filosofi jawa “sasi suro” yang mana bulan ini justru menurut mereka adalah bulan yang keramat. Misal saja sebuah tradisi yang menyesatkan yaitu kirab kebo kyai Salmet yang ada di keraton Solo. Kirab ini dilakukan tiap malam satu suro yang menurut mareka hal ini dapat mengundang berkah. Mereka berebutan kotoran kebo tersebut dan bahkan ketika kebo itu memakan dagangan milik mereka ini adalah suatu keberkahan yang akan menjadikan dagangannya laris. Di Bengkulu ada tabot yang disakralkan untuk memperingati terbunuhnya Sayyidina Husein bin Ali di Irak yang diadopsi terjadi di Bengkulu. Mengundang berkah keselamatan dengan mencuci jari-jari Husien yang berubah menjadi tembaga atau kuningan (?).
 Nah inilah kebodohan orang orang yang tidak mau belajar tentang islam. Inilah sedikit deskripsi kebodohan umat islam di negeri kita yang masih membudayakan dan mensakralkan kejahiliyahan nenek moyang mereka entah mbah-mbahnya, sampai gantung siwur alis bebuyut mereka. Kalau kita Tanya mereka ya….tentu mereka akan menjawab agama kami Islam. Mereka hanya sekedar meniru mbah-mbah mereka. Sebagaimana firman allah; dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (Al-Baqoroh ; 170)
Di bulan Muharram, salah satu bulan dari empat bulan yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau: “Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun itu 12 bulan dan di antaranya ada 4 bulan haram (yang memiliki kehormatan), 3 bulan (di antaranya) berturut-turut: Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan bulan Rajabnya Mudhor yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Peristiwa yang terjadi pada 10 Muharam (Asyuro = jw Suro)
1.      Nabi adam a.s di ciptakan , dan dimasukkan ke dalam jannah
2.      Taubat Nabi Adam as. diterima oleh Allah swt.
3.      Nabi Idris as. diangkat ke langit
4.      Kapal Nabi Nuh as. mendarat di atas gunung Judi
5.      Nabi Ibrahim as. selamat dari api raja Namrudz
6.      Nabi Yunus as. keluar dari perut ikan
7.      Nabi Ayyub as. sembuh total dari penyakitnya
8.      Nabi Yusuf as. keluar dari sumur pembuangan
9.      Nabi Musa as. menyeberangi laut Merah beserta kaumnya
10.  Kisah hijrah Nabi saw
11.  Terbunuhnya Sayyidina Husein bin Ali
Dalam masyarakat kita, sebagian memiliki keyakinan bahwa Bulan Suro (Muharam) merupakan bulan kesialan. Padahal tidak ada masa/ waktu yang sial. Bahkan dalam akidah islam, sangat dilarang mencaci maki masa/ waktu (termasuk meyakini adanya masa/ waktu sial). Banyak sunnah-sunnah yang masyru' dilaksanakan untuk mengisi bulan Muharam:
Salah satu puasa yang dianjurkan pada bulan diantara bulan- bulan yang dimuliakan yaitu bulan Muharram tepatnya puasa pada tanggal 10. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda ,” Sebaik-baik ibadah puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram”.
“Dari Abu Qotadah Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Asyura’, Beliau menjawab,” Dapat menghapuskan dosa 1 tahun sebelumnya.” ( HR. Muslim no 1162).
Sewaktu Nabi tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang2 Yahudi berpuasa pd hari asyura. Beliau bertanya:'Apa ini?' Mereka menjawab:'Sebuah hari yg baik, ini adlh hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dr musuh mereka, mk Musa berpuasa pd hari itu sbg wujud syukur. Maka beliau rasulullah menjawab:'Aku lebih berhak thd Musa drpd kalian(Yahudi), mk kami akan berpuasa pd hari itu sbg bentuk pengagungan kami thd hari itu.' (HSR Bukhari 4/244, 6/429)
Ketika Rasulullah berpuasa pd hari asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat
berkata:'Ya Rasulallah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi. Beliau
bersabda:'Di thn depan insyaAllah kita akan berpuasa pd tgl 9'., tetapi sebelum
datang tahun depan Rasulullah telah wafat. (HSR Muslim 2/798)
Di dalam riwayat lain:'Jika aku masih hidup pd thn depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pd hari kesembilan.'(HSR Muslim 2/798; Ibnu Majah, Ahmad, Tabrani dll).
Karena tanggal ke 9 ( tasu'a) nabi belum pernah mengerjakan, maka ada khilaf antara ulama hukum sunnah dan tidaknya.
Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata, “Dulu pada hari Asyuro, orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa jahiliyah dan adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dulu juga berpuasa padanya. Tatkala beliau berhijrah ke Madinah, beliau berpuasa padanya dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa padanya. Dan tatkala (puasa) ramadhan diwajibkan beliau pun meninggalkan (puasa) hari Asyuro. Maka (semenjak itu) siapa saja yang ingin (berpuasa padanya) maka dia berpuasa dan siapa saja yang ingin (untuk tidak berpuasa) maka dia meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata,“Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro`, maka beliau bertanya: “Apa ini?” Mereka (orang-orang Yahudi) menjawab: “Ini adalah hari baik, ini adalah hari Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka maka Musa berpuasa padanya.” Beliau bersabda : “Kalau begitu saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian,” maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata,“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, memotivasi dan mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau, tatkala telah diwajibkan (puasa) Ramadhan, beliau tidak memerintahkan kami, tidak pula melarang kami dan tidak mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau.” (HR. Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa puasa asyura awal kali disyariatkan ketika beliau tiba pertama kali di kota Madinah. Adapun sebab asal pensyari’atannya yaitu karena pada hari itu Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari musuhnya sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas, jadi bukan karena mengikuti agamanya orang-orang Yahudi. Lihat Nailul Author (4/288)
Nampak jelas dari hadits-hadits di atas dan juga dari hadits-hadits yang lain yang semakna dengannya bahwa dulunya hukum puasa hari ‘Asyuro` adalah wajib karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas. Akan tetapi setelah turunnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka hukum wajib ini dimansukh (terhapus) menjadi sunnah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (8/6), “Para ulama telah bersepakat bahwa puasa pada hari ‘Asyuro` hukumnya sekarang (yaitu ketika telah diwajibkannya puasa Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib.” Dan ijma’ akan hal ini juga telah dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah sebagaimana dalam Fathul Bary (2/246).
Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan berpuasa pada hari ‘Asyuro`, berikut di antaranya :
a.         Hadits Abu Qotadah Al-Harits bin Rib’iy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu dan (setahun) yang akan datang,” dan beliau ditanya tentang puasa hari ‘Asyuro` maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
b.      Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata,“Saya tidak pernah melihat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh berpuasa pada suatu hari yang dia lebih utamakan daripada selainnya kecuali pada hari ini hari ‘Asyuro` dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan.“ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c.       Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah Muharram dan sholat yang paling afdhol setelah sholat wajib adalah sholat lail.” (HR. Muslim)
Masalah hukumnya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (8/19), “Bab : Barangsiapa yang sudah makan pada hari ‘Asyuro` maka hendaknya dia menahan (berpuasa) pada sisa harinya.” Ada dua dalil yang menunjukkan akan hal ini :
a.       Hadits Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu ‘anhu dia berkata,“Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang lelaki dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang sudah makan maka hendaknya dia berpuasa pada sisa harinya dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya dia berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyuro`.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b.      Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha dia berkata,“Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus (utusan) kepada desa-desa Anshor pada subuh hari ‘Asyuro` (untuk menyerukan) : “Barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berbuka (telah makan) maka hendaknya dia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kapankah Hari ‘Asyuro` Itu? Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuannya, dan pendapat yang paling kuat adalah bahwa hari asyura itu jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah pendapat Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ini merupakan pendapat jamahir (mayoritas) ulama terdahulu dan belakangan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata, “Tatkala Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyuro` dan beliau memerintahkan (manusia) untuk berpuasa, mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani,” maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda : “Jika tahun depan (saya masih hidup) insya Allah, maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan.” (Ibnu ‘Abbas) berkata : Maka tahun depan belum datang sampai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, “Jika saya masih hidup sampai tahun depan maka (demi Allah) sungguh betul-betul saya akan berpuasa pada hari kesembilan.” Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah dalam Syarh Muslim (8/18), “Maka ini jelas menunjukkan bahwa dulu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 (Muharram) bukan tanggal 9.” Dan ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah. Hal ini lebih dipertegas oleh perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, hari kesepuluh.” (HR. At-Tirmizi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmizi, 1/399 no. 755)
Alhasil,  ternyata bulan muharam adalah bulan yang mulia dan penuh dengan amalan. Mari kita amalan ilmunya dan mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk melaksanakan sunah-sunah tersebut. (Sekali lagi tulisan ini adalah wacana, mohon pembaca arif menanggapinya. bpurnomo.co.id)

Selasa, 01 November 2011

ASAL-USUL NAMA INDONESIA

(diambil dari internet katanya tulisan IRFAN ANSHORY) PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang) nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi(Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah. Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia.

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwaAsia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).
Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah (kerendahan peradaban) itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: …. the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama ” Indonesia “agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama ” Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah ” Indonesia ” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah ”Indonesia” itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu daritulisan- tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakanistilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula- mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggotaVolksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia. (upload ulang by BambangPurnomo)