Pada jaman dahulu kala, nama negara Majapahit menurut ceritera lain adalah “Majalengka”. Nama Majapahit cuma untuk sindiran (pasemon), tetapi bagi mereka yang belum tahu ya Majapahit itulah nama aslinya. Di negara Majalengka waktu itu Prabu Brawijaya yang beragama Budha. Pada waktu itu (tahun 1400-an) raja beristri gadis dari negara Cempa (Cina, jw. putri Cempa) yang beragama Islam. Selama menjadi isteri raja, putri Cempa selalu berceritera dan memberi contoh perikehidupan memuliakan Islam, sehingga sang raja tertarik ajarannya.
Belum lama putri Cempa bersuami Brawijaya, menyusulah keponakannya bernama Sayid Kramat ke Majalengka dan minta ijin kepada raja untuk menyiarkan agama Islam. Sang rajapun mengijinkannya dan bertempat tinggal di Ngampeldenta. Di Ngampeldenta inilah banyak para pejabat dalam maupun luar (sabrang) belajar agama islam yang kemudian diikuti oleh masyarakat Jawa.
Sayid Kramat kemudian menjadi guru (Ustat) dari orang-orang yang baru masuk agama Islam yang kemudian tinggal di Benang wilayah Tuban Jawa Timur. Banyak orang Jawa tertarik ajaran Sayid Kramat. Orang Jawa pantai utara dari Jawa Timur sampai Jawa Barat meninggalkan agama Buddha, yang kemudian menjadi Islam. Dari Blambangan (Banyuwangi) sampai Banten tertarik ajaran Sayid Kramat. Padahal, agama Buddha di Jawa sudah ribuan tahun dianutnya. Masyarakat Jawa tunduk terhadap Budi Hawa. Budi adalah Dzate Hyang Widdhi (Tuhan), Hawa adalah kehendak hati hati, sehingga manusa dianggap tidak bisa apa-apa. Manusia hanya menjalankan (sadarma nglakoni), sedangkan budi yang mengendalikan (ngobahake).
Sang Prabu Brawijaya punya anak laki-laki keturunan dari Putri Bangsa Cina (Cempa) yang lahir di Palembang, yang diberi nama Raden Patah. Setelah dewasa, R. Patah ke Majalêngka. Sang Raja menjadi bingung untuk memberi nama anaknya karena beliau sebagai ayahnya beragama Buddha. Kalau mengikuti tradisi Jawa-Budha anak raja yang lahir di dusun mestinya namanya Bambang. Jika mengikuti tradisi ibunya (Putri Cempa) namanya Kaotiang, tetapi kalau menurut Islam namanya Sayid atau Sarib. Sang Raja kemudian memanggi tokok-tokok kerajaan untuk dimintai pertimbangan dalam memberi nama anaknya. Dari hasil musyawarah, Sang Perdana Meteri (Patih) menyampaikan pendapat tokok bahwa anak sang raja seharusnya diberi nama Bambang, tetapi karena ibunya berasal dari Cina, sebaiknya disêbut Babah yang arinya ibunya berasal dari negara lain. Akhirnya para tokok dan sang Raja pun mufakat. Sang Raja kemudian mengumumkan bahwa anaknya yang lahir di Palembang itu diberi nama Babah Patah. Oleh karena itu sampai sekarang blastêran Cina lan Jawa disebut Babah.
Dalam hati Babah Patah takut kalau tidak mengikuti kehendak ayahanda, sehingga cuma pura-pura senang saja karena sebenarnya dia tidak suka dengan nama tambahan Babah.
Di tahun 1500 M, Babah Patah menjadi Bupati ing Dêmak, yang merupakan koordinator seluruh bupati pantai utara (Banyuwangi sampai Banten). Babah Patah diperisterikan dengan cucunya kiyai Agêng Ngampel yang kemudian dipindah ke desa Bintara yang sekaligus menjadi pusat kerajaan Demak Bintoro. Berhubung Babah Patah sejak di Palembang agamanya sudah Islam dan ke Dêmak disuruh Ibunya melestarikan agama Islam di Demak khususnya dan di Jawa pada umumnya. Pada akhirnya beberapa tokok kerajaan (murid Sayid Kramat) minta minta pangkat ke Babah Patah untuk disebut sebagai Sunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar