Jumat, 05 April 2019

Togog, Semar, dan Batara Guru, mahabarata versi Jawa ?


Tersebutlah Sanghyang Wenang yang merupakan seorang  dewa senior dalam tradisi pewayangan jawa. Ia dianggap sebagai leluhur Bathara Guru,  pemimpin Kahyangan Suralaya. Ia sendiri bertempat tinggal di Khayangan Awang-awang Kumitir. Kisah kehidupan Sanghyang Wenang yang diangkat dalam pentas pewayangan antara lain bersumber dari naskah Serat Paramayoga yang disusun oleh pujangga Ranggawarsita.   Serat Paramayoga merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang isinya merupakan perpaduan unsur Islam, Hindu, dan Jawa asli. Tokoh Sanghyang Wenang misalnya, disebut sebagai leluhur dewa-dewa Mahabharata sekaligus keturunan dari Nabi Adam. Sanghyang Wenang merupakan putra Sanghyang Nurrasa, putra Sanghyang Nurcahya, putra Nabi Sis, putra Nabi Adam. Ia memiliki seorang kakak bernama Sanghyang Darmajaka dan seorang adik bernama Sanghyang Pramanawisesa. Setelah dewasa, Sanghyang Wenang mewarisi takhta Kahyangan Pulau Dewa dari ayahnya.
Sanghyang Wenang dipuja bagaikan Tuhan oleh para penduduk Pulau Dewa yang saat itu kebanyakan dari bangsa roh. Hal ini didengar oleh Nabi Sulaiman pemimpin Bani Israel. Para pengikut Nabi Sulaiman mendesak supaya Sanghyang Wenang diberi hukuman. Nabi Sulaiman pun mengirim panglimanya yang bernama Roh Sakar untuk menyerang Pulau Dewa.  Roh Sakar tiba di tujuannya. Namun justru dirinya yang berhasil dikalahkan oleh Sanghyang Wenang. Roh Sakar dikirim balik untuk mencuri rahasia kesaktian Nabi Sulaiman, yaitu Cincin Maklukat gaib mukzizat pemberian Tuhan. Setelah berhasil mencuri cincin tersebut, Roh Sakar kembali ke Pulau Dewa, namun cincin tercebur jatuh ke dasar laut. Pulau Dewa tempat Sanghyang Wenang dipasangi tumbal oleh nabi Sulaiman, sehingga meledak dan hancur menjadi pulau-pulau kecil. Sanghyang Wenang sendiri bahkan sampai mengungsi ke dasar laut
Beberapa tahun kemudian setelah Nabi Sulaiman meninggal, Sanghyang Wenang pun muncul kembali dan membangun kahyangan baru di Gunung Tengguru. Sang Hyang Wenang Menikah dengan Dewi Sahoti (Dewi Sati), putri Prabu Hari Raja dari negara Keling. Dari Perkawinan tersebut, ia memperoleh lima putra, yang semuanya berwujud akyan (roh). Anak mereka tersebut masing-masing bernama Sang Hyang Tunggal, Dewi Suyati, Batara Nioya, Batara Herumaya, dan Batara Senggana.
Setelah dewasa, Sang Hyang Tunggal tak berbeda dengan sang ayahnya. Sang Hyang Tunggal pun gemar berkelana dan melakukan puja semedi, bertapa ditempat-tempat yang keramat pula angker, dipuncak gunung yang teramat sunyi senyap atau didalam gua-gua yang yang teramat gelap. Sanghyang Tunggal ingin sekali memiliki anak yang bisa berbadan jasmani juga rohani, sehingga kelak bisa menjadi pemimpin Triloka, atau tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Dengan demikian, para dewa tidak hanya memimpin bangsa roh saja, tetapi juga mampu memimpin umat manusia seperti Nabi Suleman, tokoh yang telah mengalahkan ayahnya. Maka, ia pun memutuskan untuk pergi bertapa demi mencapai keinginan tersebut. Untuk selanjutnya, takhta Kahyangan Keling diserahkan kepada Sanghyang Rudra yang kemudian bergelar Sanghyang Darmadewa.
Sanghyang Tunggal kemudian berpamitan kepada sang istri, yaitu Dewi Darmani untuk pergi bertapa mewujudkan cita-citanya. Dewi Darmani mengizinkan serta merelakan Sanghyang Tunggal jika harus menikah lagi demi mendapatkan anak yang berbadan jasmani dan rohani. Sanghyang Tunggal pun mengajak istrinya untuk berserah diri kepada Tuhan semoga mendapatkan jalan yang terbaik. Setelah dirasa cukup, Sanghyang Tunggal lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Keling dan bertapa di tepi pantai dengan duduk di atas batu karang
Tersebutkah raja roh berwujud kepiting dari Kerajaan Teleng samodra, bernama Prabu Rekatatama. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Dewi Rekatawati yang telah bermimpi menikah dengan seorang dewa bernama Sanghyang Tunggal. Demi untuk mewujudkan mimpi putrinya itu, Prabu Rekatatama pun berangkat mencari keberadaan Sanghyang Tunggal. Prabu Rekatatama berhasil menemukan Sanghyang Tunggal yang bertapa di tepi pantai. Ia berusaha membangunkan calon menantunya itu namun tidak berhasil. Bahkan, daya perbawa Sanghyang Tunggal justru membuat Prabu Rekatatama terlempar dan jatuh pingsan. Setelah sadar dari pingsan, Prabu Rekatatama kemudian mengheningkan cipta, mengerahkan kesaktiannya untuk membawa pergi Sanghyang Tunggal dengan cara gaib.
Sanghyang Tunggal terbangun dari tapa dan terkejut karena tahu-tahu dirinya sudah berada di dalam keraton bawah laut. Di hadapannya sudah ada seorang raja roh kepiting dan putri cantik, yang tidak lain adalah Prabu Rekatatama dan Dewi Rekatawati. Prabu Rekatatama menyampaikan maksudnya untuk melamar Sanghyang Tunggal sebagai suami putrinya. Sanghyang Tunggal mendapat firasat bahwa dengan cara inilah ia dapat mencapai cita-cita memiliki putra berbadan jasmani dan rohani. Maka, ia pun menerima lamaran tersebut
Singkat cerita, Dewi Rekatawati telah mengandung anak Sanghyang Tunggal. Ketika tiba waktunya, ternyata yang ia lahirkan adalah sebutir telur. Sanghyang Tunggal sangat marah dan membanting telur tersebut. Namun telur itu melesat terbang ke angkasa meninggalkan Kerajaan Teleng samodra. Sanghyang Tunggal semakin penasaran dan segera terbang pula untuk mengejarnya.
Telur ajaib itu melesat sampai ke Kahyangan Tengguru. Sanghyang Wenang terkejut dan berusaha menangkapnya. Namun telur aneh itu begitu gesit, dan baru bisa ditangkap setelah Sanghyang Wenang mengerahkan kesaktiannya. Sanghyang Tunggal datang menghadap dan menceritakan bahwa telur tersebut adalah anaknya yang terlahir dari Dewi Rekatawati. Sanghyang Wenang paham isi hati putranya, maka ia pun mengheningkan cipta memohon izin Tuhan supaya telur di tangannya itu bisa berubah menjadi anak. Selesai bersamadi, Sanghyang Wenang lalu menyiram telur itu dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, cangkang telur pun terbuka dan berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Antaga. Selanjutnya putih telur juga berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur berubah menjadi laki-laki pula dan diberi nama Batara Manikmaya.
Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu ternyata lahir sesuai harapan, yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan lahir sepuluh anak, dan dari Batara Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka keturunan bangsa dewa akan berkembang biak di muka bumi.
Beberapa tahun kemudian terjadilah perselisihan antara Batara Antaga dan Batara Ismaya. Mereka berdua sama-sama merasa berhak menjadi ahli waris Sanghyang Tunggal. Batara Antaga sebagai anak tertua merasa yang paling berhak naik takhta. Namun hal itu dibantah oleh Batara Ismaya yang mengetahui sejarah leluhur, bahwa Sanghyang Nurrasa dulu menunjuk Sanghyang Wenang sebagai ahli waris, padahal Sanghyang Darmajaka lebih tua.
Kedua kakak beradik itu lalu bertarung adu kesaktian. Namun keduanya sama-sama kuat sehingga sulit menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Akhirnya, mereka pun memanggil Batara Manikmaya untuk menjadi saksi dan memberikan penilaian yang adil terhadap persaingan tersebut.
Batara Manikmaya lalu mengusulkan supaya Batara Antaga dan Batara Ismaya menelan gunung ke dalam perut dan mengeluarkannya melalui dubur. Dengan cara ini dapat diketahui siapa yang lebih sakti dan siapa yang lebih pintar. Keduanya pun setuju. Batara Antaga yang mula-mula memilih salah satu gunung di Pegunungan Himalaya, kemudian berusaha menelannya dalam sekali lahap. Setelah berusaha sekuat tenaga, gunung tersebut pun masuk ke dalam perut Batara Antaga, namun tidak bisa keluar. Karena tadi ia telah memaksakan diri melahap gunung, maka mulutnya kini menjadi robek dan lebar, matanya pun melotot besar, serta tubuhnya menjadi bulat dan gemuk.
Batara Ismaya maju dan memilih sebuah gunung yang lebih besar. Dengan sabar dan telaten ia memakan gunung itu perlahan-lahan hingga semua masuk ke dalam perutnya setelah beberapa hari. Namun ia juga tidak mampu mengeluarkannya melalui dubur. Karena tidak tidur selama berhari-hari, kini wujud Batara Ismaya menjadi berubah jelek, dengan mata sembab dan hidung ingusan. Selain itu, karena gunung yang ditelannya lebih besar daripada yang ditelan Batara Antaga, akibatnya tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan lebih bulat daripada sang kakak
Sanghyang Padawenang datang dan sangat murka melihat ulah kedua putranya. Ia pun mengumumkan bahwa Batara Manikmaya adalah yang berhak mewarisi takhta Kahyangan Tengguru, sedangkan mereka berdua diperintah untuk pergi bertapa di alam Sunyaruri. Kelak jika saatnya tiba, Sanghyang Padawenang akan memberikan perintah kepada mereka supaya muncul ke alam nyata dan menjadi pengasuh keturunan Batara Manikmaya. Batara Antaga hendaknya menjadi pengasuh golongan raksasa, sedangkan Batara Ismaya menjadi pengasuh golongan manusia.
Batara Antaga dan Batara Ismaya mematuhi keputusan sang ayah, namun mereka tidak bisa menerima begitu saja kalau Batara Manikmaya langsung diangkat menjadi ahli waris Kahyangan Tengguru. Mereka meminta Batara Manikmaya harus bisa membuktikan kalau dirinya juga bisa menelan dan mengeluarkan gunung sesuai perlombaan yang telah ditetapkan tadi.
Batara Manikmaya setuju. Ia lalu memilih gunung paling indah di Himalaya, yaitu Gunung Kaelasa untuk dimasukkan ke dalam perut. Berbeda dengan kedua kakaknya, ia lebih dulu mengheningkan cipta dan mengubah gunung itu menjadi sangat kecil sehingga dapat dengan mudah ditelan dan dikeluarkan lagi melalui dubur. Setelah itu, gunung tersebut dikembalikan ke ukuran asli dan diletakkan ke tempat semula.
Batara Antaga dan Batara Ismaya mengakui kepandaian dan kesaktian Batara Manikmaya, dan mereka pun merelakan takhta Kahyangan Tengguru menjadi milik si adik bungsu. Namun Batara Ismaya mengeluhkan wujudnya yang telah berubah menjadi buruk rupa, sehingga mustahil ada wanita yang sudi menjadi istrinya. Padahal Sanghyang Padawenang dulu pernah meramalkan bahwa ia kelak akan memiliki sepuluh anak.
Sanghyang Padawenang menjawab bahwa urusan jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Jelek atau tampan bukanlah ukuran untuk mendapatkan jodoh. Usai berkata demikian ia lantas mendatangkan seorang wanita yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, yaitu Dewi Senggani putri Sanghyang Hening. Wanita inilah yang ditakdirkan menjadi jodoh Batara Ismaya.
Melihat kedua kakaknya telah berubah menjadi buruk rupa, tiba-tiba timbul sifat sombong dalam diri Batara Manikmaya yang merasa paling tampan dibanding mereka berdua. Sanghyang Padawenang prihatin mendengar kesombongan itu. Ia pun meramalkan bahwa Batara Manikmaya kelak akan menerita empat jenis cacat, yaitu berkaki pincang, berleher belang, bertaring dua, dan berlengan empat. Batara Manikmaya menyesali kesombongannya dan memohon ampun. Namun Sanghyang Padawenang mengatakan bahwa itu semua telah menjadi takdir Tuhan dan semoga menjadi pengingat agar Batara Manikmaya lebih berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan. Manan atau Batara Narada dijadikan teman Manikmaya dan diangkat sebagai penasihatnya.
Singkat cerita, Batara Ismaya telah menikah dengan Dewi Senggani dan mendapatkan sepuluh anak, yaitu Batara Wungkuam, Batara Kuwera, Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Yamadipati, Batara Temburu, Batara Kamajaya, dan Batari Darmanastiti. Setelah itu ia pun mohon pamit dan berangkat bersama Batara Antaga menuju ke alam Sunyaruri untuk mulai bertapa. Sejak saat itu Batara Antaga memakai nama Togog, sedangkan Batara Ismaya memakai nama Semar.
Sebelum berangkat ke alam Sunyaruri, Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka (Sanghyang Tunggal), supaya masing-masing diberi teman, seperti Manikmaya. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong. Setelah keberangkatan kedua putranya, Sanghyang Padawenang lalu menyerahkan takhta Kahyangan Tengguru dan segala pusaka warisan leluhur kepada Batara Manikmaya. Batara Manikmaya kemudian menjadi raja para dewa dengan bergelar Batara Tengguru, atau disingkat Batara Guru.
Di lain kisah ada satria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Bambang Sukodadi sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka dan memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu. Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Batara Ismaya. Akhirnya Ismaya bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur, dan akhirnya mereka berdua setuju. Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Setelah Manikmaya naik tahta, dan Ismaya maupun Antaga pergi dari Kahyangan Tengguru, Sanghyang Padawenang hidup menyepi dengan membangun kahyangan baru bernama Kahyangan Awang-Awang Kumitir. (dirangkum oleh bpurnomo.co.id).