Kamis, 28 Januari 2016

CERITERA CANDI SUKUH DARI TETANGGA KARANG ANJAR



Duluuuu, entah kapan, hidup seorang janda bernama Nyai Gadung Melati bersama putri satu-satunya yang terkenal sangat cantik jelita bernama Nini Klabang Retno. Kecantikannya alamiah dan indah, dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki menjanjikan mimpi para lelaki. Putri itu mempunyai taman yang asri dan rapi. Di setiap penjuru taman tertata berbagai tanaman hias, dari mulai Jenmani sampai Ephorbia ada. Pada suatu hari taman miliknya tak dapat pengairan yang cukup, sehingga bunga-bunga kesayangannya banyak yang layu, bahkan mati. Nini Klabang Retno jadi murung wajahnya. Berhari-hari ia dirundung sedih. Sang ibu yang mencoba menghiburnya, tak mampu mengusir kesedihannya.
“Anakku, kenapa engkau bersedih setiap hari? Tunggulah musim hujan tiba, niscaya tanamanmu akan kembali berseri. Sabarlah anakku,” hibur sang ibu memberi harapan.
“Aku ingin tamanku dan tanamanku segar kembali, aku tidak sabar menunggu musim hujan tiba. Cepatlah ibu berusaha mengalirkan air baru, agar keindahan dapat kunikmati kembali. Bukankah ada air berlimpah di atas bukit sana, bu?” rengek Nini Klabang Retno manja.
Nyai Gadung Melati sangat sayang dengan putri satu-satunya, sehingga ia memeras otak agar apa yang diinginkan putrinya segera terwujud. Akhirnya, dibuatlah sayembara (bhs sekarang = lomba berhadiah), yang intinya menyatakan bahwa barang siapa yang dapat membuat aliran air ke taman itu dan membuat segar tumbuhan yang ada di taman tersebut, kalau pemenangnya perempuan akan dijadikan saudara kandung dan kalau pemenangnya pria akan diambil menantu.

 
Begitu sayembara diumumkan, berbondong-bondonglah peserta dari berbagai penjuru daerah untuk mencoba apa yang dikehendaki sang Nyai. Berbagai daya dan upaya semua peserta berusaha mengalirkan air ke dalam taman tersebut, tetapi semuanya gagal. Satu persatu berguguran, bahkan tak sedikit yang mengalami kecelakaan, tertimbun tanah longsor atau terperosok ke jurang.
Alkisah, Ki Ageng Sukuh yang berdiam di dekat Candi Sukuh itu juga mendengar sayembara yang diselenggarakan Nyai Gadung Melati. Semula ia tidak tertarik, tapi begitu melihat tidak ada yang berhasil, jiwa kejantanannya tergugah, apalagi setelah tahu kecantikan dari Nini Klabang Retno, maka iapun mengikuti sayembara. Ki ageng Sukuh seorang yang mempunyai kesaktian dan iapun menyuruh anak buahnya untuk membuat saluran air dari desa candi Sukuh menuju desa kediaman Nyai Gadung Melati, meskipun banyak rintangan menghadang, terhalang aliran sungai atau bukit yang membuat semuanya terasa sulit dikerjakan. Setelah bersemadi, Ki Ageng membuat terobosan baru. Ia membuat terowongan, agar air dapat lancar mengalir ke tujuan. Aliran air yang membelah itu diberi nama Sungai Sumurub. Setelah berhari-hari mencangkul, akhirnya sampailah pekerjaan itu di sebuah jurang, jadi cukup terhalang pekerjaannya, karena sulit untuk ditembus. Ki Ageng yang mendengar laporan anak buahnya, segera datang melihat jurang tersebut, dan memang jurang itu tak dapat ditembus, akhirnya pekerjaan dihentikan, Ki Ageng hanya dapat mengatakan kalau tempat itu kelak akan jadi pusat penerangan desa sekitarnya. Selanjutnya, ia memerintahkan untuk membuat aliran baru dari sumber air Watu Pawon. Maka anak buahnya segera menatah batu-batu yang banyak menghalangi aliran baru itu. Sampai sekarang bekas-bekas tatahan batu itu masih terlihat, dan sungai itu disebut Kali Sinatah. Setelah bekerja keras begitu lama, Ki Ageng Sukuh berhasil mengalirkan air ke taman bunga milik Nyai Gadung Melati, dan taman tersebut semakin hari semakin berseri kembali.
Kesedihan sang putri akhirnya berganti senyum secerah mentari pagi. Nyai Gadung Melati menepati janjinya. Ia ingin tahu siapa yang berhasil mengalirkan air ke taman putrinya itu. Ki Ageng Sukuh yang mendapat undangan Nyai Gadung Melati segera turun untuk menemuinya. Angan Ki Ageng Sukuh melambung tinggi, untuk menjadi istri Nini Klabang Retno. Namun apa yang terjadi? Begitu Nyai Gadung Melati melihat Ki ageng Sukuh, kecewa. Sungguh tak dibayangkan sama sekali kalau pemenang sayembaranya adalah lelaki yang sudah tua, bahkan pantas disebut kakek-kakek. Ia pun menolak mengawinkan anaknya itu.
Ki Ageng Sukuh sangat marah kepada Nyai Gadung Melati yang mengingkari apa yang telah dijanjikan dalam sayembaranya. Ia pun mengutuk Nyai Gadung Melati menjadi patung. Nyai Gadung Melati menjadi patung dan ditendang sampai jauh. Anaknya pun dikutuk juga menjadi harimau gadungan dan langsung lari mengikuti ke arah patung sang ibu tadi. Desa tempat Nyai Gadung Melati sampai sekarang disebut Desa Gadungan, Kecamatan Ngargoyoso. Sementara Ki Ageng Sukuh dinyatakan hilang atau mukso di atas Gunung Lawu, karena rasa cinta yang ditolak menjadikannya patah hati yang sangat menyakitkan. Masyarakat sekitar menyebutnya Pangeran Lawu atau Sunan Lawu. Candi Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu di Desa Berjo Kabupaten Karanganyar, Jateng, terdapat sebuah candi yang memiliki struktur bangunan yang unik karena bentuknya mirip bangunan piramid bangsa Maya. (Kompilasi Bambang Purnomo)