Duluuuu, entah kapan, hidup seorang janda bernama Nyai
Gadung Melati bersama putri satu-satunya yang terkenal sangat cantik jelita
bernama Nini Klabang Retno. Kecantikannya alamiah dan indah, dari ujung rambut
sampai ujung kuku kaki menjanjikan mimpi para lelaki. Putri itu mempunyai taman
yang asri dan rapi. Di setiap penjuru taman tertata berbagai tanaman hias, dari
mulai Jenmani sampai Ephorbia ada. Pada suatu hari taman miliknya tak dapat
pengairan yang cukup, sehingga bunga-bunga kesayangannya banyak yang layu,
bahkan mati. Nini Klabang Retno jadi murung wajahnya. Berhari-hari ia dirundung
sedih. Sang ibu yang mencoba menghiburnya, tak mampu mengusir kesedihannya.
“Anakku, kenapa engkau bersedih setiap hari? Tunggulah
musim hujan tiba, niscaya tanamanmu akan kembali berseri. Sabarlah anakku,”
hibur sang ibu memberi harapan.
“Aku ingin tamanku dan tanamanku segar kembali, aku
tidak sabar menunggu musim hujan tiba. Cepatlah ibu berusaha mengalirkan air
baru, agar keindahan dapat kunikmati kembali. Bukankah ada air berlimpah di
atas bukit sana, bu?” rengek Nini Klabang Retno manja.
Nyai Gadung Melati sangat sayang dengan putri
satu-satunya, sehingga ia memeras otak agar apa yang diinginkan putrinya segera
terwujud. Akhirnya, dibuatlah sayembara (bhs sekarang = lomba berhadiah), yang
intinya menyatakan bahwa barang siapa yang dapat membuat aliran air ke taman
itu dan membuat segar tumbuhan yang ada di taman tersebut, kalau pemenangnya perempuan
akan dijadikan saudara kandung dan kalau pemenangnya pria akan diambil menantu.
Begitu sayembara diumumkan, berbondong-bondonglah peserta
dari berbagai penjuru daerah untuk mencoba apa yang dikehendaki sang Nyai. Berbagai
daya dan upaya semua peserta berusaha mengalirkan air ke dalam taman tersebut, tetapi
semuanya gagal. Satu persatu berguguran, bahkan tak sedikit yang mengalami
kecelakaan, tertimbun tanah longsor atau terperosok ke jurang.
Alkisah, Ki Ageng Sukuh yang berdiam di dekat Candi
Sukuh itu juga mendengar sayembara yang diselenggarakan Nyai Gadung Melati.
Semula ia tidak tertarik, tapi begitu melihat tidak ada yang berhasil, jiwa
kejantanannya tergugah, apalagi setelah tahu kecantikan dari Nini Klabang
Retno, maka iapun mengikuti sayembara. Ki ageng Sukuh seorang yang mempunyai
kesaktian dan iapun menyuruh anak buahnya untuk membuat saluran air dari desa
candi Sukuh menuju desa kediaman Nyai Gadung Melati, meskipun banyak rintangan
menghadang, terhalang aliran sungai atau bukit yang membuat semuanya terasa
sulit dikerjakan. Setelah bersemadi, Ki Ageng membuat terobosan baru. Ia
membuat terowongan, agar air dapat lancar mengalir ke tujuan. Aliran air yang
membelah itu diberi nama Sungai Sumurub. Setelah berhari-hari mencangkul,
akhirnya sampailah pekerjaan itu di sebuah jurang, jadi cukup terhalang
pekerjaannya, karena sulit untuk ditembus. Ki Ageng yang mendengar laporan anak
buahnya, segera datang melihat jurang tersebut, dan memang jurang itu tak dapat
ditembus, akhirnya pekerjaan dihentikan, Ki Ageng hanya dapat mengatakan kalau
tempat itu kelak akan jadi pusat penerangan desa sekitarnya. Selanjutnya, ia
memerintahkan untuk membuat aliran baru dari sumber air Watu Pawon. Maka anak
buahnya segera menatah batu-batu yang banyak menghalangi aliran baru itu.
Sampai sekarang bekas-bekas tatahan batu itu masih terlihat, dan sungai itu
disebut Kali Sinatah. Setelah bekerja keras begitu lama, Ki Ageng Sukuh
berhasil mengalirkan air ke taman bunga milik Nyai Gadung Melati, dan taman
tersebut semakin hari semakin berseri kembali.
Kesedihan sang putri akhirnya berganti senyum secerah
mentari pagi. Nyai Gadung Melati menepati janjinya. Ia ingin tahu siapa yang
berhasil mengalirkan air ke taman putrinya itu. Ki Ageng Sukuh yang mendapat
undangan Nyai Gadung Melati segera turun untuk menemuinya. Angan Ki Ageng Sukuh
melambung tinggi, untuk menjadi istri Nini Klabang Retno. Namun apa yang
terjadi? Begitu Nyai Gadung Melati melihat Ki ageng Sukuh, kecewa. Sungguh tak
dibayangkan sama sekali kalau pemenang sayembaranya adalah lelaki yang sudah
tua, bahkan pantas disebut kakek-kakek. Ia pun menolak mengawinkan anaknya itu.
Ki Ageng Sukuh sangat marah kepada Nyai Gadung Melati yang mengingkari
apa yang telah dijanjikan dalam sayembaranya. Ia pun mengutuk Nyai Gadung
Melati menjadi patung. Nyai Gadung Melati menjadi patung dan ditendang sampai
jauh. Anaknya pun dikutuk juga menjadi harimau gadungan dan langsung lari
mengikuti ke arah patung sang ibu tadi. Desa tempat Nyai Gadung Melati sampai
sekarang disebut Desa Gadungan, Kecamatan Ngargoyoso. Sementara Ki Ageng Sukuh
dinyatakan hilang atau mukso di atas Gunung Lawu, karena rasa cinta yang
ditolak menjadikannya patah hati yang sangat menyakitkan. Masyarakat sekitar
menyebutnya Pangeran Lawu atau Sunan Lawu. Candi
Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu di Desa Berjo Kabupaten Karanganyar,
Jateng, terdapat sebuah candi yang memiliki struktur bangunan yang unik karena
bentuknya mirip bangunan piramid bangsa
Maya. (Kompilasi Bambang Purnomo)