Rabu, 16 Mei 2012

BIOLOGI PERKEMBANGAN PENYAKIT DAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT BLAST DAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA TANAMAN PADI*


Bambang Purnomo, Ir., MP.**
Abstrak
Salah satu kendala dalam upaya peningkatan produksi padi adalah penyakit. Penyakit penting pada padi yang akhir-akhir ini mewabah di daerah-daerah tertentu adalah blast dan blight. Penyakit blast akibat diserang oleh jamur Pyricularia oryzae. sedangkan penyakit blight akibat diserang oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv.oryzae. Kehilangan hasil akibat kedua penyakit tersebut sampai puso. Blast dapat menginfeksi pada semua bagian tumbuh tanaman yaitu daun, buku, leher malai sampai gabah, namun jarang menyerang pada kelopak daun. Satu bercak blast dapat menghasilkan >2000 spora per hari. Gejala pada daun yaitu bercak berbentuk bulat, belah ketupat, melebar, ditempel, dan meruncing di kedua ujungnya. Bercak yang berkembang bagian tengahnya menjadi warna abu-abu. Infeksi dapat juga terjadi pada ruas batang dan leher malai yang disebut blas leher (neck blast). Leher malai yang terinfeksi berubah menjadi hitam dan patah serta menghasilkan gabah hampa. Penyakit dapat dikendalikan dengan pembenaman jerami untuk mengurangi sumber inokulum, pemupukan berimbang, waktu tanam yang tepat, dan perlakuan benih. Penyakit blight dapat diderita pada fase bibit, tanaman muda, dan tanaman tua. Daun-daun berwarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung. Dalam keadaan parah, seluruh daun menggulung, layu, dan mati, mirip tanaman yang terkena air panas (lodoh). Sementara, hawar merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Gejala penyakit ini mudah dibedakan dari gejala karena serangan penggerek, karena pada serangan penggerek gejala lebih dulu timbul pada daun yang lebih muda, sedang pada hawar daun bakteri serangan akan tampak pada daun yang lebih tua Kerusakan yang ditimbulkan patogen blight terus meningkat sebagai akibat meluasnya pertanaman varietas unggul tahan penyakit. Bakteri terutama mengadakan infeksi melalui luka-luka pada daun pada waktu transplanting, gesekan, dan luka-luka yang lain. Bakteri blight mempunyai kelompok tingkat virulensi yang bermacam-macam, sehingga strain yang tidak penting akan dapat menjadi mewabah ketika mendapatkan inang dan lingkungan yang sesuai. Pengendalian dengan penanaman varietas tahan cukup efektif,  Pengembangan agens biokontrol (agen hayati) sebagai komponen pengendalian penyakit hawar daun bakteri padi secara terpadu yang ramah lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan menjadi alternatif pengendalian yang penting dalam era pertanian yang berkelanjutan. Meskipun demikian, varietas tahan tetap merupakan komponen utama pengendalian hawar daun bakteri secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak lingkungan.
1.    PENYAKIT BLAST PADI
Penyakit blast (Pyricularia grisea atau P.oryzae) dulunya merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi padi gogo, tetapi sekarang sudah menjadi kendala juga pada padi sawah. Sepuluh tahun yang lalu di tahun 2002 wilayah dominan penyebaran blast di Indonesia meliputi provinsi Jabar 1.781 ha, Sumsel 1.084 ha, Sumut 624 ha, Kalteng 395 ha, Bali dan NTB sekitar 200 ha (Hasanuddin, 2004). Penyakit blast akhir-akhir ini juga dilaporkan menginfeksi varietas-varietas unggul baru menjelang panen dan berpotensi secara nyata akan menurunkan hasil padi dalam skala nasional, demikian juga di Bengkulu pada musim tanam awal tahun 2012 (hasil monitoring penulis).
 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
  *Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Adaptasi DPI (Banjir dan Kekeringan) pada Tanaman Pangan
** Staf Pengajar Epidemiologi Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

 
Penyakit blast, dapat menurunkan hasil sampai lebih 70%  bahkan puso dan menyerang pada semua stadia pertumbuhan tanaman yaitu daun, buku, leher malai, namun jarang menyerang pada bagian pelepah daun(Chin, 1975).
Keadaan suhu yang kondusif pada kisaran 28°C. Suhu demikian umumnya ditemukan di wilayah-wilayah pengusahaan padi gogo, maupun padi sawah sehingga blast dapat berkembang baik dan menyebabkan kerusakan yang serius atau sering mengakibatkan puso.
 
Karakteristik sebaran dengan siklus hidup yang pendek sekitar 6 hari, dan potensi munculnya ras-ras baru yang lebih virulen menyebabkan upaya pengendalian tetap diperlukan. Pengendalian yang paling umum dilakukan adalah penggunaan varietas tahan dan fungisida. Varietas-varietas tahan telah banyak terbukti hasilnya, namun demikian beberapa varietas tahan terhadap penyakit blast hanya mampu bertahan beberapa musim tanam. Keadaan ini terjadi karena adanya proses adaptasi, mutasi genetik dan penyakit blast membentuk ras-ras baru yang lebih virulen, sehingga menyebabkan varietas yang semula tahan menjadi rentan.
1a. Perkembangan penyakit blast
Inang utamanya yaitu padi dengan inang alternatif adalah rerumputan (Digitaria cilaris, Echinochloa colona) (Teng et al, 1991) serta dapat juga memanfaatkan jagung untuk mempertahankan hidupnya. Miselia patogen tersebut dapat bertahan selama setahun pada jerami sisa-sisa panen. Spora yang berasal dari tanaman terinfeksi atau yang disebarkan angin ditemukan sekitar 2 km dari sumber inokolum awal, masih dapat menginfeksi pada tanaman sehat (Ou, 1985). Pada temperatur 24°C - 28°C adalah kondisi optimum untuk perkembangan blast.
Fase penetrasi spora cendawan ini hanya membutuhkan waktu yang singkat yaitu 6 – 8 jam, menginfeksi melalui stomata, dan periode laten untuk memproduksi kembali spora juga tergolong singkat sekitar 4 hari (Hashioka, 1985). Faktor lain yang mendukung perkembangan blast adalah keadaan kelembaban sekitar 90%, spora dapat diproduksi optimal dari setiap bercak, satu bercak mampu menghasilkan 2000 – 6000 spora per hari, keadaan tersebut dapat berlangsung selama 10 – 14 hari (ElRafaer, 1997). Data perkembangan karakter biologi tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan temperatur pada kisaran 28°C, dan kelembaban sekitar 90%, ataupun inang alternatif yang banyak ditemukan di areal pertanaman sawah yaitu rerumputan (Digitaria sp. Dan Echinocloa sp) sebagai sumber inokolum awal. Keadaan yang banyak ditemukan pada wilayah usaha tani padi tersebut, menyebabkan penyakit blast sebagai faktor pembatas produksi padi adalah selalu ada dan perlu diwaspadai.
Patogen P. grisea memanfaatkan nutrisi tanaman untuk memperbanyak diri dan mempertahankan hidup. Infeksi awal pada daun muda, menyebabkan proses pertumbuhan tidak normal, beberapa daun menjadi kering dan mati (Chin, 1975). Blast pada daun banyak menyebabkan kerusakan antara fase awal pertumbuhan sampai pada fase anakan maksimum (Gill and Borman, 1988). Infeksi pada daun setelah fase anakan maksimum biasanya tidak menyebabkan kehilangan hasil yang terlalu besar, namun infeksi pada awal pertumbuhan sering menyebabkan puso terutama varietas yang rentan. Selanjutnya Gill and Boman (1988) menyarankan tindakan perlakuan fungisida lebih awal. Perlakuan tersebut dapat berfungsi menekan tingkat intensitas serangan blast daun dan juga dapat mengurangi infeksi pada tangkai malai (blast leher).
Faktor pemicu lainnya adalah pemupukan nitrogen yang tinggi menyebabkan ketersediaan nutrisi yang ideal dan lemahnya jaringan daun, sehingga spora blast pada awal pertumbuhan dapat menginfeksi optimal dan menyebabkan kerusakan serius pada tanaman padi. Hasioka (1965) menganjurkan pemupukan berimbang dengan penggunaan nitrogen yang optimal akan dapat menekan perkembangan blast pada awal pertumbuhan.
Kehilangan hasil yang besar juga sering ditemukan pada infeksi leher malai. Penanaman dengan jarak tanam yang rapat serta pemupukan nitrogen yang tinggi tanpa menggunakan kalium menciptakan iklim meso dan media tumbuh yang kondusif untuk berkembangnya penyakit blast pada leher malai (Ismunadji et al, 1976). Gejala khas pada malai yang sering ditemukan yaitu adanya bercak kehitaman dengan malai yang patah, atau bulir yang mengering dan hampa, menyebabkan persentase gabah berisi sangat rendah (Amir, 1981; Peakin 1976).
Blast leher, berpotensi merusak yang tinggi apabila terdapat banyak embun pada saat awal berbunga, baik malam, pagi, dan siang hari. Pada keadaan iklim demikian, suhu bukan merupakan faktor pembatas. Amir (2003) melaporkan bahwa pada suhu 300C -320C, blast leher masih mampu berkembang baik. Di Sulawesi Tenggara IR42, seluas 300 ha pernah dilaporkan, tertular berat pada umur sekitar 2 bulan, hal tersebut diakibatkan karena padi gogo ditanam dengan populasi yang tergolong tinggi, serta kondisi embun yang banyak pada saat awal berbunga.
Sebaran maupun faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi perkembangan di lapang memberi petunjuk untuk melakukan langkah-langkah yang tepat tentang cara pengendalian.
1b. Pengendalian penyakit blast
a.      Pembenaman Jerami dan varietas tahan
Penyakit blast berupa miselia yang dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman padi, yaitu jerami dan biji sehingga sumber inokulum selalu tersedia dari satu musim ke musim tanam berikutnya. Proses dekomposisasi dapat berfungsi ganda yaitu dapat memanfaatkan jerami sebagai pupuk dan sumber inokulum di lapangan dapat berkurang. Hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara membenamkan jerami sisa panen dalam tanah, sehingga miselia dapat terbunuh dan tidak berpotensi untuk berkembang. Pembentukan jerami mengurangi sumber inakulasi awal sehingga intensitas pada fase vegetatif dan generatif dapat berkurang. Penggunaan varietas tahan dapat mengurangi peluang infeksi awal atau penghambatan penetrasi awal sehingga cenderung patogen blast tidak dapat berkembang maksimal pada tanaman.
b.      Penggunaan Pupuk yang seimbang
Amir (1981), melaporkan bahwa penggunaan pupuk nitrogen yang tinggi menyebabkan peningkatan penularan blast. Selanjutnya ditemukan bahwa penggunaan Nitrogen 90 kg/ ha dapat mengurangi penyebaran penyakit blast (Amir, 2003). Keadaan ini memberi gambaran bahwa pemupukan nitrogen yang berlebihan tanpa pemupukan kalium dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya serangan di lapang. Sehingga dianjurkan petani selalu mengikuti penggunaan pupuk sesuai anjuran terutama pada daerah-daerah endemi penyakit blast. Pemupukan berimbang dengan penggunaan kalium dan phosfat, dianjurkan agar dapat mengurangi infeksi blast di lapangan. Penggunaan kalium mempertebal lapisan epidermis pada daun sehingga penetrasi spora akan terhambat dan tidak akan berkembang di lapangan.
c.       Waktu Tanam yang Tepat
Perbedaan keadaan iklim dalam skala besar maupun skala kecil pada setiap wilayah, menyebabkan perlunya pengelolaan penyakit blast yang berbeda pula dalam pengendaliannya. Khusus untuk blast leher ( neck blast), kurun waktu pada saat fase padi mulai berbunga bersamaan dan terdapat banyak embun, baik pada malam, pagi dan sore hari memberi peluang berkembangnya penyakit blast leher. Pada kondisi demikian, terdapat banyak embun pada pagi dan sore hari, faktor suhu seperti 30 - 32 °C tidak berpengaruh, sehingga infeksi selalu ditemukan dengan intensitas berat. Pengaturan waktu tanam pada saat yang bertepatan banyak embun perlu dihindari agar pertanaman terhindar dari serangan penyakit blast yang berat. Keadaan ini memerlukan data iklim spesifik dari wilayah-wilayah pertanaman padi setiap lokasi.
d.      Pengendalian Secara Kimia dan Nabati
Perlakuan benih dengan fungisida sistemik mampu melindungi bibit dari serangan penyakit blast sampai pada umur 30 hari setelah tanam. Penyemprotan fungisida pada fase akhir bunting dan awal berbunga dapat menekan penyakit blast leher.
1.        PENYAKIT BLIGHT
Penyakit hawar daun bakteri sudah dikenal di Jepang sejak tahun 1884. Penyakit ini tersebar luas di berbagai negara penghasil padi seperti Cina, Taiwan, Korea, Thailand, Vietnam, Filiphina, Sri Lanka, India, Afrika, Australia, dan Amerika Selatan. Penyakit ini tersebar luas di Indonesia (Semangun, 2004). Di Indonesia, penyakit hawar daun bakteri pertama kali dilaporkan oleh Reitsman dan Schure pada tahun 1950 dan mereka berhasil mengidentifikasi organisme penyebab penyakit hawar daun bakteri, yang pada waktu itu dikenal dengan Xanthomonas kresek. Patogen penyebab hawar daun bakteri di Indonesia sama seperti yang menyerang tanaman padi di Jepang, sehingga namanya diganti menjadi Xanthomonas oryzae (Uyeda et Ishiyama) Dowson (Goto, 1964). Pada tahun 1976, nama patogen ini menjadi Xanthomonas campestris pv.oryzae dan sejak tahun 1992 oleh Swing et al., (1990) dinamakan Xanthomonas oryzae pv.oryzae (Xoo). Hawar daun bakteri merupakan salah satu penyakit utama padi sawah di Indonesia dan beberapa negara di Asia. Penyakit dapat diderita pada fase bibit, tanaman muda, dan tanaman tua. Penyakit hawar daun bakteri mengakibatkan penurunan produksi padi yang cukup tinggi (60%) dan dalam keadaan tertentu dapat puso (Khaeruni, 2001).
Penyakit ini akan menimbulkan gejala yang timbul 1-2 minggu setelah padi dipindah dari persemaian (Semangun, 1991). Penyakit hawar daun bakteri menghasilkan dua gejala khas, yaitu kresek dan hawar. Kresek adalah gejala yang terjadi pada tanaman berumur <30 hari (pesemaian atau yang baru dipindah). Daun-daun berwarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung. Dalam keadaan parah, seluruh daun menggulung, layu, dan mati, mirip tanaman yang terkena air panas (lodoh). Sementara, hawar merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan (Suyamto, 2007).Gejala busuk daun biasanya serangannya terjadi waktu padi masih dalam persemaian atau setelah tanam, namun terkadang menyerang saat tanaman padi berumur 60 hari keatas. Padi yang masih dalam persemaian, atau setelah tanam serangannya ditandai oleh daun menguning dan selanjutnya daun tampak kering. Sedangkan busuk bakteri yang menyerang tanaman yang agak tua, daunnya berwarna keabu-abuan selanjutnya berwarna putih. Gejala lain adalah kresek, dimana gejala ini terjadi pada tanaman padi berumur 2-6 minggu (Suwanto, 1994). 
 
Gejala penyakit ini mudah dibedakan dari gejala karena serangan penggerek, karena pada serangan penggerek gejala lebih dulu timbul pada daun yang lebih muda, sedang pada hawar daun bakteri serangan akan tampak pada daun yang lebih tua. Mungkin bakteri hanya menyerang beberapa daun, tetapi dapat juga berkembang terus sehingga tanaman mati. Tingkatan terakhir dari penyakit ini adalah membusuknya tanaman, yang dikenal dengan nama hama lodoh. Bakteri terutama terdapat dalam berkas-berkas pembuluh. Kalau daun yang sakit dipotong dan diletakkan pada ruangan yang lembab, dari berkas pembuluhnya akan keluar lendir kekuningan yang mengandung jutaan bakteri (Semangun, 2004). Garis-garis yang kebasah-basahan pada urat daun setelah dipotong dan diletakkan pada tempat yang lembab akan banyak lendir bakteri yang terdapat pada garis-garis tersebut yang disebut ooze, lendir itu kemudian mengering membentuk butiran-butiran kecil pada garis-garis luka (Harahap dan Cahyono, 1998).
2a. Perkembangan penyakit blight
Bakteri terutama mengadakan infeksi melalui luka-luka pada daun pada waktu transplanting. Bakteri juga mengadakan infeksi melalui luka-luka pada akar sebagai akibat pencabutan semai. Bakteri juga dapat mengadakan infeksi melalui pori air (stomata, hidatoda) yang terdapat pada daun, melalui luka-luka karena daun-daun yang bergesekan, dan melalui luka-luka lain. Bakteri tidak dapat bertahan lama pada biji, sehingga umumnya penyakit ini tidak terbawa oleh biji (Semangun, 2004).
Bakteri blight mempunyai kelompok tingkat virulensi yang bermacam-macam, sehingga strain yang tidak penting akan dapat menjadi mewabah ketika mendapatkan inang dan lingkungan yang sesuai (Sudarmo, 1991, Kardin dan Hifni, 1993). Sejak tahun 1994, di Indonesia terdapat 11 kelompok strain penyebab hawar daun bakteri. Pada tahun 1970-an, kelompok strain III paling luas sebarannya sehingga seleksi varietas padi didasarkan atas kepekaannya terhadap kelompok itu. Di samping kelompok III, strain kelompok IV adalah yang paling virulen dan belum ada varietas padi yang tahan terhadap strain ini (Kardin dan Hifni, 1993, Utami et. al., 2007). Sejalan dengan adanya pergeseran strain Xoo dari waktu ke waktu di lapang, maka mengakibatkan penggunaan varietas tahan yang dianggap mampu mengatasi penyakit hawar daun bakteri hanya bersifat sementara dan terbatas dibeberapa daerah saja, karena strain yang tidak menonjol suatu ketika akan menjadi menonjol apabila mendapat inang yang cocok. (Ezuka dan Horino, 1974). Bakteri yang termasuk kelompok I dan II tersebar di Indonesia. Kelompok III tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa, bali, dan mungkin terdapat di Bengkulu (belum ada penelitian). Kelompok IV terdapat pada daerah-daerah seperti kelompok III, tetapi tidak terdapat di kalimantan Selatan. Kelompok V hanya terdapat di Bali. Kelompok VI dan VIII terdapat di daerah Jawa Barat. Sampai saat ini penggunaan varietas tahan masih menjadi antisipasi terbaik dalam penanggulangan hawar daun bakteri, namun demikian harus terus dilakukan pemantauan pergeseran strain di lapangan. Mengetahui strain yang dominan akan mempermudah rekomendasi varietas yang ditanam di suatu daerah (Suwanto, 1994)
Dalam keaadaan lembab (terutama di pagi hari), kelompok bakteri, berupa butiran berwarna kuning keemasan, dapat dengan mudah temukan pada daun-daun yang menunjukkan gejala hawar. Dengan bantuan angin, gesekan antar daun, dan percikan air hujan, massa bakteri ini berfungsi sebagai alat penyebar penyakit hawar daun bakteri (Suyamto, 2007). Penyakit lebih banyak pada padi yang dipindah. Pada umur yang lebih muda. Ada jenis padi tertentu yang tahan pada waktu muda dan adapula yang tahan pada waktu dewasa. Misalnya bakteri kelompok III jenis Krueng Aceh tahan pada waktu muda, sedang Bah Butong, Semeru, Citanduy, dan Cisanggarung menjadi tahan setelah dewasa terhadap bakteri kelompok IV Bah Butong tahan pada waktu masih muda dan juga setelah dewasa (Semangun, 2004).
2b. Pengendalian penyakit blight
a.       Penggunaan agen hayati
Strain Xanthomonas oryzae pv.oryzae berbeda dari satu negara ke negara lain dan dari satu daerah ke daerah lain. Varietas IR64 yang mempunyai gen ketahanan Xa-4 bereaksi tahan terhadap isolat Xanthomonas oryzae pv.oryzae asal Filipina, tetapi sangat rentan terhadap isolat asal Indonesia dan India. Gen ketahanan Xa-4 berfungsi baik untuk negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya, tetapi kurang baik untuk Asia Selatan oleh karena itu untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri dengan menggunakan varietas tahan, pemantauan pergeseran patotipe Xanthomonas oryzae pv.oryzae dan seleksi varietas tahan yang baru harus terus dilakukan dalam menunjang program pemuliaan padi yang berkesinambungan (Zhang & Mew, 1989). Pemanfaatan mikroorganisme sebagai agens pengendalian nampaknya masih perlu dikembangkan. Pengembangan penggunaan mikroorganisme tersebut perlu dilandasi pengetahuan jenis-jenis mikroorganisme, jenis-jenis penyakit dan juga mekanisme pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroorganisme. Pemanfaatan ini diharapkan dapat membantu pengendalian penyakit tanpa mengganggu kondisi lingkungan (Kustianto et. al., 1995).
Pengembangan agens biokontrol (agen hayati) sebagai komponen pengendalian penyakit hawar daun bakteri padi secara terpadu yang ramah lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan menjadi alternatif pengendalian yang penting dalam era pertanian yang berkelanjutan. Keuntungan biokontrol antara lain: lebih aman, tidak terakumulasi dalam rantai makanan, adanya proses reproduksi sehingga dapat mengurangi pemakaian yang berulang-ulang dan dapat digunakan secara bersama-sama dengan pengendalian yang telah ada (Suwanto, 1994). Parapeneliti Jepang menemukan virus bakteriofage yang dapat menyerang Xanthomonas oryzae pv.oryzae, antara lain yang disebut dengan bakteriofage OP1 dan OP2. Keberadaan bakteriofage tersebut di Indonesia telah dibuktikan oleh Mahmud dan Walkman (1975, dalam Semangun, 2004). Sejumlah bakteri filosfer daun dan batang tanaman padi juga telah dapat diisolasi dari daun padi yang berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit hawar daun bakteri pada skala rumah kaca, misalnya bakteri filosfer Pseudomonas kelompok fluorescens dan Bacillus sp sebagai agen biokontrol penyakit hawar daun pada padi secara in vitro (Machmud dan Farida, 1995).
Menurut Khaeruni (2001) penggunaan agen biokontrol dalam skala luas di lapangan memerlukan beberapa kriteria antara lain formulasi agen biokontrol mudah diaplikasi di lapangan, pembiakan massal dan bahan formulasi yang murah dan mudah didapatkan, serta agen biokontrol mampu bertahan dalam waktu yang relatif lama dalam bahan formulasinya pada suhu ruang. Hal-hal tersebut sering menjadi kendala utama dalam pemanfaatan biokontrol di lapangan, yang perlu dipikirkan jalan keluarnya.
b.      Pencegahan dengan cara budidaya
Beberapa teknik budidaya yang disarankan antara lain dengan perlakuaan bibit dan pergiliran varietas, menanam dengan jarak tanam yang tidak terlalu rapat, irigasi / pengairan secara berselang (intermeten), pemupukan sesuai kebutuhan tanaman dan menanam varietas tahan. Penyakit hawar daun bakteri dapat dikendalikan secara efektif menggunakan varietas tahan,  pemupukan seimbang, dan pengaturan air. Serangan hawar daun bakteri tidak hanya dipengaruhi oleh ketahanan varietas dan virulensi patogen, tetapi juga dipengaruhi oleh teknik bercocok tanam yang diterapkan oleh petani. Penyakit hawar daun bakteri mempunyai hubungan yang jelas dengan pemupukan, khususnya pemupukan nitrogen (Khaeruni, 2001). Untuk daerah-daerah yang endemis penyakit hawar daun bakteri, perlu ditanam varietas tahan seperti Code dan Angke dan menggunakan pupuk NPK dan pupuk mikro dalam dosis yang tepat. Bila memungkinkan, hindari penggenangan yang terus-menerus, mis. 1 hari digenangi dan 3 hari dikeringkan (Suyamto, 2007). Pergiliran varietas dan tanaman, sanitasi dan eradikasi pada tanaman yang terserang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri pada suatu daerah tertentu (Khaeruni, 2001).
Berbagai varietas dan galur padi dengan berbagai tingkat ketahanan terhadap hawar daun bakteri telah dikembangkan. Namun kemudian diketahui varietas tahan hanya efektif terhadap strain tertentu di lokasi tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa patogen Xanthomonas oryzae pv.oryzae dapat membentuk strain baru yang mampu mematahkan ketahanan suatu varietas. Pengendalian dengan penanaman varietas tahan cukup efektif. Sejak dilepasnya varietas IR20 yang mengandung gen tahan terhadap hawar daun bakteri, perakitan varietas tahan hawar daun bakteri menjadi salah satu program penting pemuliaan tanaman padi (Mew et. al., 1982). Beberapa tahun setelah dilepas pada tahun 1970, IR20 dilaporkan rentan terhadap strain Isabela di Filipina. Sementara IR36 yang dilepas pada tahun 1979 dilaporkan rentan terhadap strain IV pada tahun 1982. Hal ini mengisyaratkan bahwa ketahanan varietas padi terhadap hawar daun bakteri tidak hanya disebabkan oleh dominasi dan distribusi strain yang berbeda di berbagai daerah, tetapi juga terkait dengan kurun waktu pengembangan varietas tersebut. Periode ketahanan suatu varietas ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kecepatan perubahan strain, komposisi dan dominasi strain, frekuensi penanaman, dan komposisi varietas dengan latar belakang gen berbeda yang ditanam dalam waktu dan hamparan tertentu. Meskipun demikian, varietas tahan tetap merupakan komponen utama pengendalian hawar daun bakteri secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak lingkungan (Ogawa, 1993).
Varietas–varietas padi yang agak tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri ini antara lain Ciliwung, Fatmawati, Mekongga dan Aek Sibundoong  (kelompok IV),Widas, Rokan dan Hipa 3, Way Apo Buru, Singkil, Konawe, Intani, Sunggal, Ketan Hitam (kelompok III dan IV), Ketonggo, Ciherang, Inpari 2 dan Inpari 3 Memberamo, Cibodas, Maros, Sintanur, Wera (Kelompok III), Tukad Unda dan Tukad Petanu (kelompok VIII),  Hipa 4, Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete (kelompok IV dan VIII), Code, Angke, Ciujung, Inpari 1, Inpari 6 Jete (kelompok III, IV dan VIII) (BBPadi Sukamandi, 2002).
KESIMPULAN
1.      Patogen blast dapat menginfeksi pada semua bagian tumbuh tanaman yaitu daun, buku, leher malai sampai gabah, tetapi lebih sering tampak gejalanya pada daun dan leher malai. Gejala pada daun yaitu bercak berbentuk bulat, belah ketupat, melebar, ditempel, dan meruncing di kedua ujungnya. Leher malai yang terinfeksi berubah menjadi hitam dan patah serta menghasilkan gabah hampa. Penyakit dapat dikendalikan dengan pembenaman jerami untuk mengurangi sumber inokulum, penggunaan varietas tahan, pemupukan berimbang, pengaturan waktu tanam yang tepat, dan perlakuan benih.
2.      Penyakit dapat diderita pada fase bibit, tanaman muda, dan tanaman tua. Hawar merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Bakteri blight mempunyai kelompok tingkat virulensi yang bermacam-macam, sehingga strain yang tidak penting akan dapat menjadi mewabah ketika mendapatkan inang dan lingkungan yang sesuai. Pengendalian menggunakan varietas tahan merupakan komponen utama pengendalian hawar daun bakteri secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak lingkungan. Pengembangan agen hayati sebagai komponen pengendalian penyakit hawar daun bakteri yang ramah lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan menjadi alternatif pengendalian yang penting dalam era pertanian yang berkelanjutan.
Daftar bacaan:
Amir, M. 1981. Masalah Penyakit blast (Pirycularia grisea) dan pengendaliannya Kongres Nasional Perhimpunan Fitopatology Indonesia ke VI. Bukittinggi.
Amir, M. 2003. Strategi penyelamatan padi gogo dari ancaman penyakit blas. Puslitbang tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2002. Refleksi Penelitian Padi 2002. Balitpa Sukamandi.
Chin, K.M. 1975 Fungisidal control of the rice blast disease. Mardi Reseacrh Bulletin. 2(2): 82-84.
ElRefaei, 1977. Epidemiologi of rice blast disease in the tropic with special reference to leaf wetnes in relation to the disease development. Tesis Phd. Indian Agricuitual Research. New Delhi.
Ezuka, A. and O. Horino. 1974. Classification of rice varieties and Xanthomonas oryzae strains on the basis of differential interactions. Bull. Tokal-Kinki Nat. Agr. Exp. Sta. 27:1-19.
Gill M and Borman JM. 1988. Effect of water deficit on rice blast. Influence of water deficit on component of resistance. Plant Protection in The Tropict. 5:61-66.
Goto, M. 1964. Kresek and pele yellow leaf systemic symptoms of bacterial leaf blight of rice caused by Xanthomonas oryzae (Uyeda et Ishiyama) Dawson. PI. Dis. Rep.48 : 858-861.
Harahap, I.S. dan Cahyono, B. 1998. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Penebar Swadaya. Bogor.
Kardin, M.K. dan H. R. Hifni. 1993. Penyakit hawar daun bakteri padi di Indonesia. Risalah Seminar Puslitbangtan.
Khaeruni, Andi. 2001. Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi : Masalah dan Upaya Pemecahannya. IPB. Bogor.
Kustianto, B., Minantyorini, Hartini R., 1995. Pencarian sumber ketahanan varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri kelompok IV, hal. 188-192. Di dalam Peningkatan Peranan Fitopatologi Dalam Pengamanan Produksi & Pelestarian Lingkungan. Risalah Kongres Nasional XII & Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, 1995. Yogyakarta.
Machmud, M. dan Farida, 1995. Isolasi dan identifikasi bakteri antagonis terhadap bakteri hawar daun padi (Xanthomonas oryzae pv oryzae). Risalah Kongres Nasional XII & Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta.
Mew, T .W., Vera Cruz, and R.C. Rayes. 1982. Interaction of Xanthomonas campestris oryzae and resistance of rice cultivar.UPhytopathology 72 : 786-789.
Ogawa, T. 1993. Methods and strategy for monitoring race distributions and identifications of resistance genes tobacterial leaf blight (Xanthomonas campestris pv. oryzae) in rice . JAEQ 27:71-80.
Sudarmo, S. 1991. Pengendalian Serangan Hama Penyakit dan Gulma Padi. Kanisius. Yogyakarta. 
Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Penting di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Penting di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suwanto, A., 1994. Mikroorganisme Untuk Biokontrol, Strategi Penelitian & Penerapannya dalam Bioteknologi Pertanian. Agrotek 2:40-46.
Suyamto. 2007. Masalah Lapang Padi. Puslitbangtan, Bogor.
Utami, W., Kadir, Triny., dan Koerniati, Sri. 2007. Galur padi baru tahan hawar daun. Bakteri. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 : 5-6.
Zhang,Q. and T.W. Mew. 1989. Types of resistance in rice to bacterial blight. Bacterial Blight of Rice. Proceedings of The Int. Workshop on Bacterial Blight of Rice, 14-18 March 1988. IRRI. Philippines.
Hasanuddin A. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Padi Upaya Tiada Henti. Inovasi Pertanian Tanaman pangan. Puslitbangtan Bogor.
Hashioka Y. 1965. Effect of enviromental factor on development of cause fungus infection disease development and epidemiology in rice blast. In. the blast Disease. USA. J.H. Press 153- 161.
Ismunaji M., Parthoharjo, dan Sastiaji. 1976. Peranan Kalium dalam produksi tanaman pangan dalam Kalium dan Tanaman Pangan. LP3 Bogor 1-16.
Ou, S.H. 1985. Rice disease. Slough UK commonwealt Agricultural Boureaux. 380 pp.
Peakin. S.1976. Pest Control in Rice. Centre for overseas pest research. London.
Swings, J., Van den Mooter, M., Vauterin, L., Hoste, B., Gillis, M., Mew, T. W. and Kersters, K., J. Syst. Bacteriol., 1990, 40, 309–311.
Teng PS., K. Gebbink and Punchmit H. 1991. An anlysis of the blast Pathosystem to guide modelling and porecasting in blast a nd porecasting. Manila Philipina. IRRI 1-30.
=======BPBPBPBPBPBP=======