Bambang Purnomo, Ir., MP.**
Abstrak
Salah
satu kendala dalam upaya peningkatan produksi padi
adalah penyakit. Penyakit penting pada padi yang akhir-akhir ini mewabah di
daerah-daerah tertentu adalah blast dan blight. Penyakit blast akibat diserang oleh jamur Pyricularia oryzae.
sedangkan penyakit blight akibat diserang oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv.oryzae. Kehilangan hasil akibat kedua penyakit
tersebut sampai puso. Blast dapat menginfeksi pada semua bagian tumbuh tanaman
yaitu daun, buku, leher malai sampai gabah, namun jarang menyerang pada kelopak
daun. Satu bercak blast dapat menghasilkan >2000 spora per hari. Gejala pada
daun yaitu bercak berbentuk bulat, belah ketupat, melebar, ditempel, dan
meruncing di kedua ujungnya. Bercak yang berkembang bagian tengahnya menjadi
warna abu-abu. Infeksi dapat juga terjadi pada ruas batang dan leher malai yang
disebut blas leher (neck blast). Leher malai yang terinfeksi berubah menjadi
hitam dan patah serta menghasilkan gabah hampa. Penyakit dapat dikendalikan
dengan pembenaman jerami untuk mengurangi sumber inokulum, pemupukan berimbang,
waktu tanam yang tepat, dan perlakuan benih. Penyakit blight dapat diderita
pada fase bibit, tanaman muda, dan tanaman tua. Daun-daun
berwarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung. Dalam keadaan parah, seluruh
daun menggulung, layu, dan mati, mirip tanaman yang terkena air panas (lodoh).
Sementara, hawar merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman
yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Gejala penyakit
ini mudah dibedakan dari gejala karena serangan penggerek, karena pada serangan
penggerek gejala lebih dulu timbul pada daun yang lebih muda, sedang pada hawar
daun bakteri serangan akan tampak pada daun yang lebih tua Kerusakan yang ditimbulkan patogen blight terus meningkat sebagai akibat
meluasnya pertanaman varietas unggul tahan penyakit. Bakteri terutama mengadakan infeksi melalui luka-luka pada daun
pada waktu transplanting, gesekan, dan luka-luka yang lain. Bakteri blight mempunyai kelompok tingkat virulensi yang bermacam-macam,
sehingga strain yang tidak penting akan dapat menjadi mewabah ketika
mendapatkan inang dan lingkungan yang sesuai. Pengendalian
dengan penanaman varietas tahan cukup efektif,
Pengembangan agens biokontrol (agen hayati) sebagai komponen
pengendalian penyakit hawar daun bakteri padi secara terpadu yang ramah
lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan menjadi alternatif pengendalian
yang penting dalam era pertanian yang berkelanjutan. Meskipun demikian,
varietas tahan tetap merupakan komponen utama pengendalian hawar daun bakteri
secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak lingkungan.
1.
PENYAKIT BLAST PADI
Penyakit blast (Pyricularia
grisea atau P.oryzae)
dulunya merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi padi
gogo, tetapi sekarang sudah menjadi kendala juga pada padi sawah. Sepuluh tahun
yang lalu di tahun 2002 wilayah dominan penyebaran blast di Indonesia meliputi
provinsi Jabar 1.781 ha, Sumsel 1.084 ha, Sumut 624 ha, Kalteng 395 ha, Bali
dan NTB sekitar 200 ha (Hasanuddin, 2004). Penyakit blast akhir-akhir ini juga
dilaporkan menginfeksi varietas-varietas unggul baru menjelang panen dan
berpotensi secara nyata akan menurunkan hasil padi dalam skala nasional,
demikian juga di Bengkulu pada musim tanam awal tahun 2012 (hasil monitoring
penulis).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Adaptasi
DPI (Banjir dan Kekeringan) pada Tanaman Pangan
** Staf Pengajar Epidemiologi Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Penyakit blast, dapat
menurunkan hasil sampai lebih 70% bahkan
puso dan menyerang pada semua stadia pertumbuhan tanaman yaitu daun, buku,
leher malai, namun jarang menyerang pada bagian pelepah daun(Chin, 1975).
Keadaan suhu yang
kondusif pada kisaran 28°C. Suhu demikian umumnya ditemukan di wilayah-wilayah
pengusahaan padi gogo, maupun padi sawah sehingga blast dapat berkembang baik dan
menyebabkan kerusakan yang serius atau sering mengakibatkan puso.
Karakteristik sebaran dengan siklus hidup yang pendek sekitar 6
hari, dan potensi munculnya ras-ras baru yang lebih virulen menyebabkan upaya
pengendalian tetap diperlukan. Pengendalian yang paling umum dilakukan adalah
penggunaan varietas tahan dan fungisida. Varietas-varietas tahan telah banyak
terbukti hasilnya, namun demikian beberapa varietas tahan terhadap penyakit blast
hanya mampu bertahan beberapa musim tanam. Keadaan ini terjadi karena adanya
proses adaptasi, mutasi genetik dan penyakit blast membentuk ras-ras baru yang
lebih virulen, sehingga menyebabkan varietas yang semula tahan menjadi rentan.
1a. Perkembangan penyakit blast
Inang utamanya yaitu padi dengan inang alternatif adalah
rerumputan (Digitaria cilaris, Echinochloa colona) (Teng et al, 1991)
serta dapat juga memanfaatkan jagung untuk mempertahankan hidupnya. Miselia
patogen tersebut dapat bertahan selama setahun pada jerami sisa-sisa panen.
Spora yang berasal dari tanaman terinfeksi atau yang disebarkan angin ditemukan
sekitar 2 km dari sumber inokolum awal, masih dapat menginfeksi pada tanaman
sehat (Ou, 1985). Pada temperatur 24°C - 28°C adalah kondisi optimum untuk
perkembangan blast.
Fase penetrasi spora cendawan ini hanya membutuhkan waktu yang
singkat yaitu 6 – 8 jam, menginfeksi melalui stomata, dan periode laten untuk
memproduksi kembali spora juga tergolong singkat sekitar 4 hari (Hashioka,
1985). Faktor lain yang mendukung perkembangan blast adalah keadaan kelembaban
sekitar 90%, spora dapat diproduksi optimal dari setiap bercak, satu bercak
mampu menghasilkan 2000 – 6000 spora per hari, keadaan tersebut dapat
berlangsung selama 10 – 14 hari (ElRafaer, 1997). Data perkembangan karakter
biologi tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan temperatur pada kisaran 28°C,
dan kelembaban sekitar 90%, ataupun inang alternatif yang banyak ditemukan di
areal pertanaman sawah yaitu rerumputan (Digitaria sp. Dan Echinocloa
sp) sebagai sumber inokolum awal. Keadaan yang banyak ditemukan pada
wilayah usaha tani padi tersebut, menyebabkan penyakit blast sebagai faktor
pembatas produksi padi adalah selalu ada dan perlu diwaspadai.
Patogen P. grisea memanfaatkan nutrisi tanaman untuk
memperbanyak diri dan mempertahankan hidup. Infeksi awal pada daun muda,
menyebabkan proses pertumbuhan tidak normal, beberapa daun menjadi kering dan
mati (Chin, 1975). Blast pada daun banyak menyebabkan kerusakan antara fase
awal pertumbuhan sampai pada fase anakan maksimum (Gill and Borman, 1988).
Infeksi pada daun setelah fase anakan maksimum biasanya tidak menyebabkan
kehilangan hasil yang terlalu besar, namun infeksi pada awal pertumbuhan sering
menyebabkan puso terutama varietas yang rentan. Selanjutnya Gill and Boman
(1988) menyarankan tindakan perlakuan fungisida lebih awal. Perlakuan tersebut
dapat berfungsi menekan tingkat intensitas serangan blast daun dan juga dapat
mengurangi infeksi pada tangkai malai (blast leher).
Faktor pemicu lainnya adalah pemupukan nitrogen yang tinggi
menyebabkan ketersediaan nutrisi yang ideal dan lemahnya jaringan daun,
sehingga spora blast pada awal pertumbuhan dapat menginfeksi optimal dan
menyebabkan kerusakan serius pada tanaman padi. Hasioka (1965) menganjurkan
pemupukan berimbang dengan penggunaan nitrogen yang optimal akan dapat menekan
perkembangan blast pada awal pertumbuhan.
Kehilangan hasil yang besar juga sering ditemukan pada infeksi
leher malai. Penanaman dengan jarak tanam yang rapat serta pemupukan nitrogen
yang tinggi tanpa menggunakan kalium menciptakan iklim meso dan media tumbuh
yang kondusif untuk berkembangnya penyakit blast pada leher malai (Ismunadji et
al, 1976). Gejala khas pada malai yang sering ditemukan yaitu adanya bercak
kehitaman dengan malai yang patah, atau bulir yang mengering dan hampa,
menyebabkan persentase gabah berisi sangat rendah (Amir, 1981; Peakin 1976).
Blast leher, berpotensi merusak yang tinggi apabila terdapat
banyak embun pada saat awal berbunga, baik malam, pagi, dan siang hari. Pada
keadaan iklim demikian, suhu bukan merupakan faktor pembatas. Amir (2003)
melaporkan bahwa pada suhu 300C -320C, blast leher masih mampu
berkembang baik. Di Sulawesi Tenggara IR42, seluas 300 ha pernah dilaporkan, tertular
berat pada umur sekitar 2 bulan, hal tersebut diakibatkan karena padi gogo
ditanam dengan populasi yang tergolong tinggi, serta kondisi embun yang banyak
pada saat awal berbunga.
Sebaran maupun faktor
biotik dan abiotik yang mempengaruhi perkembangan di lapang memberi petunjuk
untuk melakukan langkah-langkah yang tepat tentang cara pengendalian.
1b. Pengendalian penyakit blast
a.
Pembenaman Jerami dan
varietas tahan
Penyakit blast berupa miselia yang dapat bertahan pada sisa-sisa
tanaman padi, yaitu jerami dan biji sehingga sumber inokulum selalu tersedia
dari satu musim ke musim tanam berikutnya. Proses dekomposisasi dapat berfungsi
ganda yaitu dapat memanfaatkan jerami sebagai pupuk dan sumber inokulum di
lapangan dapat berkurang. Hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara
membenamkan jerami sisa panen dalam tanah, sehingga miselia dapat terbunuh dan
tidak berpotensi untuk berkembang. Pembentukan jerami mengurangi sumber inakulasi
awal sehingga intensitas pada fase vegetatif dan generatif dapat berkurang.
Penggunaan varietas tahan dapat mengurangi peluang infeksi awal atau
penghambatan penetrasi awal sehingga cenderung patogen blast tidak dapat
berkembang maksimal pada tanaman.
b.
Penggunaan Pupuk yang
seimbang
Amir (1981), melaporkan bahwa penggunaan pupuk nitrogen yang
tinggi menyebabkan peningkatan penularan blast. Selanjutnya ditemukan bahwa
penggunaan Nitrogen 90 kg/ ha dapat mengurangi penyebaran penyakit blast (Amir,
2003). Keadaan ini memberi gambaran bahwa pemupukan nitrogen yang berlebihan
tanpa pemupukan kalium dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya serangan di
lapang. Sehingga dianjurkan petani selalu mengikuti penggunaan pupuk sesuai
anjuran terutama pada daerah-daerah endemi penyakit blast. Pemupukan berimbang
dengan penggunaan kalium dan phosfat, dianjurkan agar dapat mengurangi infeksi blast
di lapangan. Penggunaan kalium mempertebal lapisan epidermis pada daun sehingga
penetrasi spora akan terhambat dan tidak akan berkembang di lapangan.
c.
Waktu Tanam yang Tepat
Perbedaan keadaan iklim
dalam skala besar maupun skala kecil pada setiap wilayah, menyebabkan perlunya
pengelolaan penyakit blast yang berbeda pula dalam pengendaliannya. Khusus
untuk blast leher ( neck blast), kurun waktu pada saat fase padi mulai berbunga
bersamaan dan terdapat banyak embun, baik pada malam, pagi dan sore hari
memberi peluang berkembangnya penyakit blast leher. Pada kondisi demikian,
terdapat banyak embun pada pagi dan sore hari, faktor suhu seperti 30 - 32 °C
tidak berpengaruh, sehingga infeksi selalu ditemukan dengan intensitas berat.
Pengaturan waktu tanam pada saat yang bertepatan banyak embun perlu dihindari
agar pertanaman terhindar dari serangan penyakit blast yang berat. Keadaan ini
memerlukan data iklim spesifik dari wilayah-wilayah pertanaman padi setiap
lokasi.
d.
Pengendalian Secara Kimia dan Nabati
Perlakuan benih dengan fungisida sistemik mampu melindungi bibit
dari serangan penyakit blast sampai pada umur 30 hari setelah tanam.
Penyemprotan fungisida pada fase akhir bunting dan awal berbunga dapat menekan
penyakit blast leher.
1.
PENYAKIT BLIGHT
Penyakit hawar
daun bakteri sudah dikenal di Jepang sejak tahun 1884. Penyakit ini tersebar
luas di berbagai negara penghasil padi seperti Cina, Taiwan, Korea, Thailand,
Vietnam, Filiphina, Sri Lanka, India, Afrika, Australia, dan Amerika Selatan.
Penyakit ini tersebar luas di Indonesia (Semangun, 2004). Di Indonesia,
penyakit hawar daun bakteri pertama kali dilaporkan oleh Reitsman dan Schure
pada tahun 1950 dan mereka berhasil mengidentifikasi organisme penyebab
penyakit hawar daun bakteri, yang pada waktu itu dikenal dengan Xanthomonas kresek. Patogen penyebab
hawar daun bakteri di Indonesia sama seperti yang menyerang tanaman padi di
Jepang, sehingga namanya diganti menjadi Xanthomonas
oryzae (Uyeda et Ishiyama) Dowson (Goto, 1964). Pada tahun 1976, nama
patogen ini menjadi Xanthomonas
campestris pv.oryzae dan sejak tahun 1992 oleh Swing et al., (1990)
dinamakan Xanthomonas oryzae pv.oryzae
(Xoo). Hawar daun bakteri merupakan salah
satu penyakit utama padi sawah di Indonesia dan beberapa negara di Asia. Penyakit
dapat diderita pada fase bibit, tanaman muda, dan tanaman tua. Penyakit hawar
daun bakteri mengakibatkan penurunan produksi padi yang cukup tinggi (60%) dan
dalam keadaan tertentu dapat puso (Khaeruni, 2001).
Penyakit ini akan
menimbulkan gejala yang timbul 1-2 minggu setelah padi dipindah dari persemaian
(Semangun, 1991). Penyakit hawar daun bakteri menghasilkan dua gejala khas,
yaitu kresek dan hawar. Kresek adalah gejala yang terjadi pada tanaman berumur
<30 hari (pesemaian atau yang baru dipindah). Daun-daun berwarna hijau
kelabu, melipat, dan menggulung. Dalam keadaan parah, seluruh daun menggulung,
layu, dan mati, mirip tanaman yang terkena air panas (lodoh). Sementara, hawar
merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai
fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan (Suyamto, 2007).Gejala busuk daun
biasanya serangannya terjadi waktu padi masih dalam persemaian atau setelah
tanam, namun terkadang menyerang saat tanaman padi berumur 60 hari keatas. Padi
yang masih dalam persemaian, atau setelah tanam serangannya ditandai oleh daun
menguning dan selanjutnya daun tampak kering. Sedangkan busuk bakteri yang
menyerang tanaman yang agak tua, daunnya berwarna keabu-abuan selanjutnya
berwarna putih. Gejala lain adalah kresek, dimana gejala ini terjadi pada
tanaman padi berumur 2-6 minggu (Suwanto, 1994).
Gejala penyakit ini mudah dibedakan dari gejala karena
serangan penggerek, karena pada serangan penggerek gejala lebih dulu timbul
pada daun yang lebih muda, sedang pada hawar daun bakteri serangan akan tampak
pada daun yang lebih tua. Mungkin bakteri hanya menyerang beberapa daun, tetapi
dapat juga berkembang terus sehingga tanaman mati. Tingkatan terakhir dari
penyakit ini adalah membusuknya tanaman, yang dikenal dengan nama hama lodoh.
Bakteri terutama terdapat dalam berkas-berkas pembuluh. Kalau daun yang sakit
dipotong dan diletakkan pada ruangan yang lembab, dari berkas pembuluhnya akan
keluar lendir kekuningan yang mengandung jutaan bakteri (Semangun, 2004).
Garis-garis yang kebasah-basahan pada urat daun setelah dipotong dan diletakkan
pada tempat yang lembab akan banyak lendir bakteri yang terdapat pada
garis-garis tersebut yang disebut ooze, lendir itu kemudian mengering membentuk
butiran-butiran kecil pada garis-garis luka (Harahap dan Cahyono, 1998).
2a. Perkembangan penyakit
blight
Bakteri terutama mengadakan infeksi melalui luka-luka pada
daun pada waktu transplanting. Bakteri juga mengadakan infeksi melalui
luka-luka pada akar sebagai akibat pencabutan semai. Bakteri juga dapat
mengadakan infeksi melalui pori air (stomata, hidatoda) yang terdapat pada
daun, melalui luka-luka karena daun-daun yang bergesekan, dan melalui luka-luka
lain. Bakteri tidak dapat bertahan lama pada biji, sehingga umumnya penyakit
ini tidak terbawa oleh biji (Semangun, 2004).
Bakteri
blight mempunyai kelompok tingkat virulensi yang bermacam-macam, sehingga
strain yang tidak penting akan dapat menjadi mewabah ketika mendapatkan inang dan
lingkungan yang sesuai (Sudarmo, 1991, Kardin dan Hifni, 1993). Sejak tahun 1994, di Indonesia terdapat 11 kelompok
strain penyebab hawar daun bakteri. Pada tahun 1970-an, kelompok strain III
paling luas sebarannya sehingga seleksi varietas padi didasarkan atas
kepekaannya terhadap kelompok itu. Di samping kelompok III, strain kelompok IV
adalah yang paling virulen dan belum ada varietas padi yang tahan terhadap
strain ini (Kardin dan Hifni, 1993, Utami et. al., 2007). Sejalan dengan adanya
pergeseran strain Xoo dari waktu ke waktu di lapang, maka mengakibatkan
penggunaan varietas tahan yang dianggap mampu mengatasi penyakit hawar daun
bakteri hanya bersifat sementara dan terbatas dibeberapa daerah saja, karena
strain yang tidak menonjol suatu ketika akan menjadi menonjol apabila mendapat
inang yang cocok. (Ezuka dan Horino, 1974). Bakteri yang termasuk kelompok I
dan II tersebar di Indonesia. Kelompok III tersebar di Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, Jawa, bali, dan mungkin terdapat di Bengkulu (belum ada
penelitian). Kelompok IV terdapat pada daerah-daerah seperti kelompok III,
tetapi tidak terdapat di kalimantan Selatan. Kelompok V hanya terdapat di Bali.
Kelompok VI dan VIII terdapat di daerah Jawa Barat. Sampai saat ini penggunaan
varietas tahan masih menjadi antisipasi terbaik dalam penanggulangan hawar daun
bakteri, namun demikian harus terus dilakukan pemantauan pergeseran strain di
lapangan. Mengetahui strain yang dominan akan mempermudah rekomendasi varietas
yang ditanam di suatu daerah (Suwanto, 1994)
Dalam keaadaan lembab (terutama di pagi hari), kelompok
bakteri, berupa butiran berwarna kuning keemasan, dapat dengan mudah temukan
pada daun-daun yang menunjukkan gejala hawar. Dengan bantuan angin, gesekan
antar daun, dan percikan air hujan, massa bakteri ini berfungsi sebagai alat
penyebar penyakit hawar daun bakteri (Suyamto, 2007). Penyakit lebih banyak
pada padi yang dipindah. Pada umur yang lebih muda. Ada jenis padi tertentu
yang tahan pada waktu muda dan adapula yang tahan pada waktu dewasa. Misalnya
bakteri kelompok III jenis Krueng Aceh tahan pada waktu muda, sedang Bah
Butong, Semeru, Citanduy, dan Cisanggarung menjadi tahan setelah dewasa
terhadap bakteri kelompok IV Bah Butong tahan pada waktu masih muda dan juga
setelah dewasa (Semangun, 2004).
2b. Pengendalian penyakit
blight
a.
Penggunaan agen hayati
Strain Xanthomonas oryzae pv.oryzae berbeda dari satu negara
ke negara lain dan dari satu daerah ke daerah lain. Varietas IR64 yang
mempunyai gen ketahanan Xa-4 bereaksi tahan terhadap isolat Xanthomonas oryzae
pv.oryzae asal Filipina, tetapi sangat rentan terhadap isolat asal Indonesia
dan India. Gen ketahanan Xa-4 berfungsi baik untuk negara-negara di kawasan
Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya, tetapi kurang baik untuk Asia Selatan
oleh karena itu untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri dengan
menggunakan varietas tahan, pemantauan pergeseran patotipe Xanthomonas oryzae
pv.oryzae dan seleksi varietas tahan yang baru harus terus dilakukan dalam
menunjang program pemuliaan padi yang berkesinambungan (Zhang & Mew, 1989).
Pemanfaatan mikroorganisme sebagai agens pengendalian nampaknya masih perlu
dikembangkan. Pengembangan penggunaan mikroorganisme tersebut perlu dilandasi
pengetahuan jenis-jenis mikroorganisme, jenis-jenis penyakit dan juga mekanisme
pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroorganisme. Pemanfaatan
ini diharapkan dapat membantu pengendalian penyakit tanpa mengganggu kondisi
lingkungan (Kustianto et. al., 1995).
Pengembangan agens biokontrol (agen hayati) sebagai komponen
pengendalian penyakit hawar daun bakteri padi secara terpadu yang ramah
lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan menjadi alternatif pengendalian
yang penting dalam era pertanian yang berkelanjutan. Keuntungan biokontrol
antara lain: lebih aman, tidak terakumulasi dalam rantai makanan, adanya proses
reproduksi sehingga dapat mengurangi pemakaian yang berulang-ulang dan dapat
digunakan secara bersama-sama dengan pengendalian yang telah ada (Suwanto,
1994). Parapeneliti Jepang menemukan virus bakteriofage yang dapat menyerang Xanthomonas oryzae pv.oryzae, antara
lain yang disebut dengan bakteriofage OP1 dan OP2. Keberadaan bakteriofage tersebut
di Indonesia telah dibuktikan oleh Mahmud dan Walkman (1975, dalam Semangun,
2004). Sejumlah bakteri filosfer daun dan batang tanaman padi juga telah dapat
diisolasi dari daun padi yang berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit hawar
daun bakteri pada skala rumah kaca, misalnya bakteri filosfer Pseudomonas kelompok fluorescens dan Bacillus sp sebagai agen biokontrol
penyakit hawar daun pada padi secara in vitro (Machmud dan Farida, 1995).
Menurut Khaeruni (2001) penggunaan agen biokontrol dalam
skala luas di lapangan memerlukan beberapa kriteria antara lain formulasi agen
biokontrol mudah diaplikasi di lapangan, pembiakan massal dan bahan formulasi
yang murah dan mudah didapatkan, serta agen biokontrol mampu bertahan dalam
waktu yang relatif lama dalam bahan formulasinya pada suhu ruang. Hal-hal
tersebut sering menjadi kendala utama dalam pemanfaatan biokontrol di lapangan,
yang perlu dipikirkan jalan keluarnya.
b.
Pencegahan dengan cara budidaya
Beberapa
teknik budidaya yang disarankan antara lain dengan perlakuaan bibit dan
pergiliran varietas, menanam dengan jarak tanam yang tidak terlalu rapat,
irigasi / pengairan secara berselang (intermeten), pemupukan sesuai kebutuhan
tanaman dan menanam varietas tahan. Penyakit hawar daun bakteri dapat
dikendalikan secara efektif menggunakan varietas tahan, pemupukan seimbang, dan pengaturan air. Serangan
hawar daun bakteri tidak hanya dipengaruhi oleh ketahanan varietas dan
virulensi patogen, tetapi juga dipengaruhi oleh teknik bercocok tanam yang
diterapkan oleh petani. Penyakit hawar daun bakteri mempunyai hubungan yang
jelas dengan pemupukan, khususnya pemupukan nitrogen (Khaeruni, 2001). Untuk
daerah-daerah yang endemis penyakit hawar daun bakteri, perlu ditanam varietas
tahan seperti Code dan Angke dan menggunakan pupuk NPK dan pupuk mikro dalam
dosis yang tepat. Bila memungkinkan, hindari penggenangan yang terus-menerus,
mis. 1 hari digenangi dan 3 hari dikeringkan (Suyamto, 2007). Pergiliran
varietas dan tanaman, sanitasi dan eradikasi pada tanaman yang terserang dapat
dilakukan untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri pada suatu daerah
tertentu (Khaeruni, 2001).
Berbagai
varietas dan galur padi dengan berbagai tingkat ketahanan terhadap hawar daun
bakteri telah dikembangkan. Namun kemudian diketahui varietas tahan hanya
efektif terhadap strain tertentu di lokasi tertentu. Penelitian menunjukkan
bahwa patogen Xanthomonas oryzae
pv.oryzae dapat membentuk strain baru yang mampu mematahkan ketahanan suatu
varietas. Pengendalian dengan penanaman varietas tahan cukup efektif. Sejak
dilepasnya varietas IR20 yang mengandung gen tahan terhadap hawar daun bakteri,
perakitan varietas tahan hawar daun bakteri menjadi salah satu program penting
pemuliaan tanaman padi (Mew et. al., 1982). Beberapa tahun setelah dilepas pada
tahun 1970, IR20 dilaporkan rentan terhadap strain Isabela di Filipina.
Sementara IR36 yang dilepas pada tahun 1979 dilaporkan rentan terhadap strain
IV pada tahun 1982. Hal ini mengisyaratkan bahwa ketahanan varietas padi
terhadap hawar daun bakteri tidak hanya disebabkan oleh dominasi dan distribusi
strain yang berbeda di berbagai daerah, tetapi juga terkait dengan kurun waktu
pengembangan varietas tersebut. Periode ketahanan suatu varietas ditentukan
oleh beberapa faktor, seperti kecepatan perubahan strain, komposisi dan
dominasi strain, frekuensi penanaman, dan komposisi varietas dengan latar
belakang gen berbeda yang ditanam dalam waktu dan hamparan tertentu. Meskipun
demikian, varietas tahan tetap merupakan komponen utama pengendalian hawar daun
bakteri secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak
lingkungan (Ogawa, 1993).
Varietas–varietas padi yang agak
tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri ini antara lain Ciliwung, Fatmawati,
Mekongga dan Aek Sibundoong (kelompok IV),Widas, Rokan dan Hipa 3, Way
Apo Buru, Singkil, Konawe, Intani, Sunggal, Ketan Hitam (kelompok III dan IV),
Ketonggo, Ciherang, Inpari 2 dan Inpari 3 Memberamo, Cibodas, Maros, Sintanur,
Wera (Kelompok III), Tukad Unda dan Tukad Petanu (kelompok VIII), Hipa 4,
Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete (kelompok IV dan VIII), Code, Angke, Ciujung, Inpari
1, Inpari 6 Jete (kelompok III, IV dan VIII) (BBPadi Sukamandi, 2002).
KESIMPULAN
1.
Patogen
blast dapat menginfeksi pada semua bagian tumbuh tanaman yaitu daun, buku,
leher malai sampai gabah, tetapi lebih sering tampak gejalanya pada daun dan
leher malai. Gejala pada daun yaitu bercak berbentuk bulat, belah ketupat,
melebar, ditempel, dan meruncing di kedua ujungnya. Leher malai yang terinfeksi
berubah menjadi hitam dan patah serta menghasilkan gabah hampa. Penyakit dapat
dikendalikan dengan pembenaman jerami untuk mengurangi sumber inokulum, penggunaan
varietas tahan, pemupukan berimbang, pengaturan waktu tanam yang tepat, dan
perlakuan benih.
2.
Penyakit dapat diderita pada fase
bibit, tanaman muda, dan tanaman tua. Hawar
merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai
fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Bakteri
blight mempunyai kelompok tingkat virulensi yang bermacam-macam, sehingga
strain yang tidak penting akan dapat menjadi mewabah ketika mendapatkan inang
dan lingkungan yang sesuai. Pengendalian
menggunakan varietas tahan merupakan komponen utama pengendalian hawar daun
bakteri secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak
lingkungan. Pengembangan agen hayati sebagai komponen pengendalian penyakit
hawar daun bakteri yang ramah lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan
menjadi alternatif pengendalian yang penting dalam era pertanian yang
berkelanjutan.
Daftar bacaan:
Amir,
M. 1981. Masalah Penyakit
blast (Pirycularia grisea) dan pengendaliannya Kongres Nasional
Perhimpunan Fitopatology Indonesia ke VI. Bukittinggi.
Amir, M. 2003. Strategi penyelamatan padi gogo dari
ancaman penyakit blas. Puslitbang tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Balai
Penelitian Tanaman Padi. 2002. Refleksi Penelitian Padi 2002. Balitpa Sukamandi.
Chin,
K.M. 1975 Fungisidal
control of the rice blast disease. Mardi Reseacrh Bulletin. 2(2): 82-84.
ElRefaei, 1977. Epidemiologi of rice blast disease in
the tropic with special reference to leaf wetnes in relation to the disease
development. Tesis Phd. Indian Agricuitual Research. New Delhi.
Ezuka, A. and O. Horino. 1974. Classification of rice varieties and Xanthomonas
oryzae strains on the basis of differential interactions. Bull. Tokal-Kinki
Nat. Agr. Exp. Sta. 27:1-19.
Gill M and Borman JM. 1988. Effect of water deficit on rice blast.
Influence of water deficit on component of resistance. Plant Protection in The
Tropict. 5:61-66.
Goto, M. 1964. Kresek and pele yellow leaf systemic symptoms of
bacterial leaf blight of rice caused by Xanthomonas oryzae (Uyeda et Ishiyama)
Dawson. PI. Dis. Rep.48 : 858-861.
Harahap, I.S. dan Cahyono, B. 1998. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Penebar Swadaya. Bogor.
Harahap, I.S. dan Cahyono, B. 1998. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Penebar Swadaya. Bogor.
Kardin, M.K. dan H. R. Hifni. 1993. Penyakit hawar daun bakteri
padi di Indonesia. Risalah Seminar Puslitbangtan.
Khaeruni, Andi. 2001. Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi : Masalah dan
Upaya Pemecahannya. IPB. Bogor.
Kustianto, B., Minantyorini, Hartini R., 1995. Pencarian sumber
ketahanan varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri kelompok IV, hal.
188-192. Di dalam Peningkatan Peranan Fitopatologi Dalam Pengamanan Produksi
& Pelestarian Lingkungan. Risalah Kongres Nasional XII & Seminar
Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, 1995. Yogyakarta.
Machmud, M. dan Farida, 1995. Isolasi dan identifikasi bakteri antagonis terhadap
bakteri hawar daun padi (Xanthomonas oryzae pv oryzae). Risalah Kongres
Nasional XII & Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.
Yogyakarta.
Mew, T .W., Vera Cruz, and R.C. Rayes. 1982. Interaction of Xanthomonas
campestris oryzae and resistance of rice cultivar.UPhytopathology 72 : 786-789.
Ogawa, T. 1993. Methods and strategy for monitoring race
distributions and identifications of resistance genes tobacterial leaf blight
(Xanthomonas campestris pv. oryzae) in rice . JAEQ 27:71-80.
Sudarmo, S. 1991. Pengendalian Serangan Hama Penyakit dan Gulma Padi.
Kanisius. Yogyakarta.
Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Penting di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Penting di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suwanto, A., 1994. Mikroorganisme Untuk Biokontrol, Strategi Penelitian
& Penerapannya dalam Bioteknologi Pertanian. Agrotek 2:40-46.
Suyamto. 2007. Masalah Lapang Padi. Puslitbangtan, Bogor.
Utami, W., Kadir, Triny., dan Koerniati, Sri. 2007. Galur padi baru tahan hawar
daun. Bakteri. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 : 5-6.
Zhang,Q. and T.W. Mew. 1989. Types of resistance in rice to bacterial blight.
Bacterial Blight of Rice. Proceedings of The Int. Workshop on Bacterial Blight
of Rice, 14-18 March 1988. IRRI. Philippines.
Hasanuddin A. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Padi
Upaya Tiada Henti. Inovasi Pertanian Tanaman pangan. Puslitbangtan Bogor.
Hashioka Y. 1965. Effect of enviromental factor on
development of cause fungus infection disease development and epidemiology in
rice blast. In. the blast Disease. USA. J.H. Press 153- 161.
Ismunaji M., Parthoharjo, dan Sastiaji.
1976. Peranan Kalium
dalam produksi tanaman pangan dalam Kalium dan Tanaman Pangan. LP3 Bogor
1-16.
Ou, S.H. 1985. Rice disease. Slough UK commonwealt
Agricultural Boureaux. 380 pp.
Peakin.
S.1976. Pest Control in
Rice. Centre for overseas pest research. London.
Swings, J.,
Van den Mooter, M., Vauterin, L., Hoste, B., Gillis, M., Mew, T. W. and
Kersters, K., J. Syst. Bacteriol., 1990, 40,
309–311.
Teng
PS., K. Gebbink and Punchmit H. 1991. An anlysis of the blast Pathosystem to guide modelling and porecasting
in blast a nd porecasting. Manila Philipina. IRRI 1-30.
=======BPBPBPBPBPBP=======