Minggu, 30 Agustus 2009

PENGEJAWANTAH DAN NASIB RAKYAT JELATA (Bambang Purnomo)

SEMAR di dunia pewayangan merupakan penjilmaan dewa, tetapi hidupnya sebagai rakyat jelata. Oleh karena itu suara rakyat adalah suara Tuhan. Semar selalu tersenyum, tetapi matanya juga selalu sembab. Hal ini merupakan penggambaran rakyat jelata yang tetap tabah meskipun terkena tamparan sana-sini, simbul nrimo tetapi sengsara. Semar berwajah tua tetapi berkuncung seperti anak kecil, sebagai simbul kesengsaraan yang beruntun terjadi sejak muda. Semar perutnya besar sehingga mampu menampung sebuah gunung (tahta) yang dimakannya, karena menjadi rebutan si Togog dan Manikmaya. Hal ini menjadi simbul perebutan kekuasaan dalam pemilu. Semar beserta anak-anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong, merupakan simbul masyarakat jelata, masyarakat pemilih. Mereka di dunia pewayangan sering dijadikan "tumbal" jika ada acara-acara pesta penguasa, pengangkatan raja, atau pembangunan tempat dan sarana mewah.
Togog adalah saudara Semar yang sangat berambisi menjadi penguasa. Togog bermulut lebar karena sobek pada waktu mau makan gunung, terlalu banyak omong kosong pada waktu kampanye mendapatkan kemegahan kekuasaan yang bagaikan tegagnya gunung.
Manikmaya juga saudara Semar yang berhasil menjadi raja atau yang berkuasa di Jungglingsaloka. Meskipun Manikmaya sebagai penguasa, tetapi dia juga cacat lemah kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Karena kakinya lemah maka kemana-mana harus bersama bodiguard, pasukan pengaman Andini. Leher belang, bercaling, dan bertangan empat pasti pembaca juga tahu persis penguasa-penguasa sekarang.
Sebagai orang Jawa, kalau kita menyimak di sinom Kalatida, sinom Jakalodang, dan asmarandana Jayengbaya juga sudah tersirat di situ, kurang lebih begini ramalannya:
SERAT KALATIDA RANGGAWARSITA
Amenangi jaman edan   (Mengalami jaman gila)
Ewuhaya ing pambudi  (Serba salah dalam bertindak)
Melu ngedan nora tahan (Ikut gila tidak tahan)
Yen tan melu anglakoni (Kalau tidak ikut gila)
Boya keduman melik (Tidak akan mendapat bagian)
Kaliren wekasanipun (Kesengsaraan pada akhirnya)
Ndilalah kersa Allah (Namun telah menjadi kehendak Allah)
Begja begjaning kang lali (Seberapapun bahagianya orang yang lalai)
Luwih begja kang eleng klawan waspada (Akan lebih bahagia pada orang yang taqwa dan waspada)
SERAT JAKALODANG RANGGAWARSITA
Sasedya tanpa daya (Di suatu masa seluruh kehendak sangat sulit terwujud)
Sacipta-cipta tan pulih (Apa yang dicita-citakan berantakan)
Kang reraton-raton rantas (Apa yang dirancang menjadi berantakan)
Mrih luhur asor pinanggih (Ingin menang malah kalah, ingin dihormati jadi tercemar)
Bebendu gung nekani  (Bencana besar datang bertubi-tubi)
Kongas ing kanistanipun (Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela)
Wong agung nis gungira  (Banyak penguasa kehilangan kebesarannya)
Sudireng wirang jrih lalis  (Lebih baik tercemar dari pada mempertanggungjawabkan)
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira (Rayat jelata juga sudah tidak mau tahu tentang keterbatasanya)
dst
Yen wis tobat tanpo mosik (Kalau semua bertobat dan menyerahkan diri)
Sru nalongsa narima ngandel ing sukma (Kepada kekuasaan Tuhan dengan sepenuh hati)